Tandaseru — “Ma, saya baru abis nae kalapa.”

Kalimat dari seberang telepon itu mematahkan hati Kamaria Malik. Bibirnya bergetar, airmata membanjiri matanya yang lelah.

Putra sulungnya, Ariyandi Nahrawi, yang baru berusia 17 tahun terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Siswa kelas 3 SMA itu harus memanjat pohon kelapa dan memetik pala sepulang sekolah.

Perubahan hidup keluarga ini terjadi semenjak sang kepala keluarga, Nahrawi Salamudin, ditangkap polisi gabungan Polda Maluku Utara dan Polsek Maba, Halmahera Timur, 18 Mei 2025 lalu. Nahrawi, bersama 10 warga desa Maba Sangaji, kecamatan Maba, lainnya disergap polisi saat melakukan upacara adat dan aksi tolak tambang di tanah adat Kesultanan Tidore yang kini dikuasai perusahaan tambang nikel PT Position.

Kamaria Malik. (Tandaseru/Ika Fuji Rahayu)

Semenjak Nahrawi ditangkap, Kamaria dan Ariyandi bahu membahu menghidupi keluarga mereka sendiri. Ariyandi masih punya dua adik, Andika dan Zahra, yang masing-masing duduk di bangku kelas 2 SMP dan 2 SD. Jika Ariyandi menggantikan tugas ayahnya berkebun, Kamaria berjualan kue buatannya.

Perjuangan warga menolak aktivitas PT Position dimulai sejak akhir 2024 lalu. Menurut Kamaria, sebelum warga Maba Sangaji melakukan protes, warga desa tetangga, Wailukum, sudah lebih dulu beraksi. Namun aksi itu berhasil dibungkam.

Warga Maba Sangaji mulai bereaksi ketika melihat warna sungai Sangaji berubah keruh. Jarak kebun warga, yang juga merupakan lokasi perusahaan, terbilang jauh dari kampung. Mereka harus menumpangi longboat selama 6 jam menyusuri kali Sangaji untuk mencapainya.

Spanduk yang terpasang di desa Maba Sangaji. (Istimewa)

“Sebelum perusahaan itu beroperasi, kali Sangaji jernihnya sampai batu di dasar kali kita bisa lihat. Jadi kita kalo ke kebun tidak pernah bawa air lagi. Ambil saja air di situ lalu masak di kebun. Tapi sekarang dengan kondisi keruh begitu, kita harus bawa air dari rumah kalo ke kebun,” tutur Kamaria saat ditemui di Maba Sangaji, Minggu (20/7/2025).

Perubahan warna air ini dilaporkan warga ke kepala desa Kasman Mahmud. Namun tak ada langkah berarti. Bahkan ketika warga melaporkan adanya aktivitas PT Position, Kasman mengaku perusahaan itu tak pernah berkoordinasi dengannya sebelumnya. Warga pun selama ini tak pernah mendapat sosialisasi apapun dari perusahaan.

Kemarahan warga memuncak ketika banjir melanda kebun mereka yang rata-rata letaknya di bantaran kali Sangaji. Tiap kali banjir, tanaman pala dan kelapa ikut mati.

“Kalo abis banjir dan tanaman yang tergenang itu tidak langsung torang (kami, red) sikat batangnya, pasti langsung mati. Daun kering semua,” ujar Kamaria.

Warga Maba Sangaji pun ramai-ramai mendatangi lokasi perusahaan pada awal Mei 2025. Di sana, mereka hanya ditemui pihak kontraktor.

Endapan lumpur yang membanjiri kali Sangaji. (Agus)

“Kontraktor bilang setahu mereka urusan dengan warga Maba Sangaji sudah tuntas, makanya dorang (mereka, red) berani kerja. Sedangkan pihak perusahaan sendiri tidak pernah ada koordinasi dengan warga, pembebasan lahan juga tidak pernah, tuntas dari mana?” kata Kamaria mempertanyakan.

Saat kedatangan warga di kawasan perusahaan itu, warga menuntut menemui manajemen PT Position. Warga berharap, dengan adanya pertemuan pihak perusahaan bisa mencarikan solusi agar tanaman warga dan sungai tak jadi korban aktivitas tambang.

Sayangnya, pertemuan itu tidak terjadi. Kamaria bilang, berdasarkan kesepakatan kontraktor dengan warga, pihak kontraktor menyerahkan 18 kunci alat berat kepada warga sebagai jaminan agar manajemen perusahaan bersedia menemui warga.

Warga pun kembali ke rumah dan menanti. Hari-hari berlalu namun tak ada pertemuan dengan manajemen perusahaan. Sementara sungai tetap keruh, tanaman warga tetap mati.

Kali Sangaji yang keruh dan tak bisa lagi digunakan untuk konsumsi warga. (Agus)

Pada 15 Mei 2025 sore, warga memutuskan naik lagi ke kebun dan lokasi pertambangan. Di sana, mereka hendak menuntut pertemuan, menggelar upacara adat, sekaligus mengembalikan kunci alat berat jika pertemuan terjadi.

26 warga Maba Sangaji pun beriringan menumpangi longboat menyusuri sungai. Mereka membawa serta pakaian adat dan perlengkapan yang selalu dibawa tiap kali ke kebun: parang, tombak, tenda, bekal makanan.

Hari mulai gelap ketika warga tiba di lokasi. Mereka mendirikan tenda. Esoknya, warga mulai menggelar upacara adat dan membacakan pernyataan sikap penolakan terhadap aktivitas perusahaan. Belum kelar upacara berjalan, polisi mulai menangkapi mereka, dalam balutan baju adat.

“Saat itulah dorang disergap dan ditangkap polisi. Polisi bilang dorang ditangkap karena aksi premanisme dan bawa senjata tajam. Padahal polisi yang bertindak seperti preman karena pukul dorang. Sedangkan senjata tajam yang dibawa itu perlengkapan dorang berkebun. Orang gila mana yang pi kebun di tengah hutan tidak bawa parang dan tombak? Kalo bakudapa binatang buas atau OTK, sapa yang mau tolong? Itu pun perlengkapannya ada di tenda saat dorang ditangkap itu,” beber Kamaria.

26 warga itu langsung digelandang menuju Ternate, ke kantor Polda Malut. Mirisnya, keluarga korban tak ada yang dikabari soal penangkapan. Mereka justru mengetahui ayah, kakek, kakak, adik, paman, saudara laki-laki mereka ditangkap lewat seliweran foto di media sosial.

“Itu juga so malam baru tong (kami, red) tahu. Orang-orang kirim foto di HP bilang saya pe paitua ditangkap,” aku Kamaria.

Lutut Kamaria langsung lemas mendengar kabar itu. Ia tak menyangka perjuangan melindungi tanah, kebun, hutan, dan sungai dari industri ekstraktif bakal membawa suaminya ke balik jeruji besi.

Hanya beberapa hari setelahnya, polisi menetapkan 11 warga sebagai tersangka. Mereka adalah Sahil Abubakar, Jamaludin Badi, Alaudin Salamudin, Nahrawi Salamudin, Umar Manado, Salasa Muhammad, Hamim Djamal, Julkadri Husen, Sahrudin Awat, Indrasani Ilham, dan Yasir Samad. Mereka dikenakan pasal kepemilikan senjata tajam, sementara Sahil Abubakar mendapat pasal tambahan yakni perampasan kunci alat berat.

Kebun warga Maba Sangaji yang terendam banjir. (Istimewa)

“Tuduhan itu semua tidak masuk akal dan tidak benar. Makanya torang minta pendampingan pengacara pak Suarez (Yanto Yunus) dan praperadilan,” sambung Kamaria.

Hati Kamaria tambah remuk mengingat putri bungsunya, Zahra, yang amat dekat dengan ayahnya. Selama Nahrawi ditahan, Zahra tak diberitahu kebenarannya. Ia hanya tahu ayahnya sedang ke kebun.

“Dia selalu tanya ‘papa nae pala pe lama?’ Setelah satu bulan papanya ditahan baru torang bawa dia ke Rutan Ternate untuk jenguk,” kisah Kamaria.

Nahrawi awalnya tak ingin dijenguk anak-anak. Ia tak mau hati mereka hancur melihatnya. Tapi setelah dikuatkan, ia mengiyakan kunjungan anak-anak.

Kamaria bilang, Zahra menangis sejadi-jadinya saat pertama kali bertemu ayahnya di rutan. Ia memeluk dan menciumi Nahrawi, meluapkan kerinduan, juga kesedihannya melihat sang ayah dikurung.

Zahra beberapa kali menjenguk Nahrawi selama ia berada di Ternate. Saat itu sedang libur sekolah. Ketika masa liburan berakhir, dengan berat hati Kamaria harus membawa pulang Zahra ke kampung.

Pada pertemuan terakhir sebelum kembali ke Maba Sangaji, Zahra merengek meminta ayahnya ikut pulang. Nahrawi pun harus membujuknya.

“Nanti papa pasti pulang. Papa masih harus bikin gelang di sini,” kata Kamaria menirukan suaminya. Selama di penjara, Nahrawi dan rekan-rekannya membuat kerajinan tangan, salah satunya gelang.

Zahra melangkah gontai keluar rutan setelah berhasil dibujuk ayahnya. Namun ia sempat berlari kembali memeluk pria itu untuk terakhir kalinya sebelum pintu rutan ditutup. Gadis kecil itu pulang ke Maba Sangaji dengan hati pilu dan gelang buatan ayahnya di tangan.

Bertahan Hidup

Keluarga Kamaria Malik bukan satu-satunya yang terdampak penangkapan 11 warga Maba Sangaji. Suryati Hi Kota, istri Sahrudin Awat, juga harus banting tulang menghidupi tiga anaknya usai sang suami ditangkap polisi.

Aksi tolak tambang di PT Position. (Istimewa)

Suryati ingin berlama-lama mengubur diri dalam kesedihan. Tapi tiga anak yang tengah menempuh pendidikan butuh dirinya. Dengan hati berdarah, setiap hari ia mengambil sapu dan membersihkan pasar Maba agar digaji Rp 1 juta per bulan.

“Anak saya yang tua lagi kuliah di FKIP Unkhair Ternate. Yang kedua SMP, ketiga SD. Jadi kebutuhan anak-anak banyak. Uang makan, uang kos, uang sekolah,” kata Suryati.

Tiap kali kebutuhan anak-anak mencuat, ia harus putar otak memenuhinya. Jika Suryati menjadi petugas kebersihan dan Kamaria berjualan kue, istri-istri warga yang ditahan lainnya ada yang mengolah sagu untuk dijual.

Namun tak ada penyesalan dari keluarga atas keputusan suami-suami mereka memperjuangkan tanah adat. Suryati dan yang lainnya menyadari, masa depan anak-anak mereka untuk hidup di lingkungan yang sehat jauh lebih penting.

“Suami saya bukan makar, bukan preman, bukan pembunuh. Dia hanya bicara. Hanya bilang: ini hutan kami, jangan rusak. Tapi karena dia rakyat kecil, langsung ditangkap,” ucapnya.

Penegakan Hukum Dipertanyakan

“Yang namanya polisi saya tidak percaya lagi,” ujar Kamaria lirih.

Selama proses penangkapan dan penahanan suaminya dan 10 warga lain, banyak tanda tanya memenuhi kepala Kamaria. Mulai dari penerapan pasal yang dinilai mengada-ada, hingga sikap polisi.

“Bayangkan, ada polisi datang ke rumah menemui saya setelah penangkapan itu. Saya buatkan teh, saya taruh kue, saya terima bae-bae. Tapi pas sidang prapengadilan, dia bilang saya ancam dia. Masak seorang ibu rumah tangga seperti saya ancam polisi?” kata Kamaria.

Tiap kali ada surat dari kepolisian, pihak keluarga tak pernah menerimanya langsung. Selalu dititipkan lewat pemerintah desa. Itu pun tanggalnya sudah lewat hingga 3 pekan.

Selain polisi, keluarga juga mempertanyakan sikap kepala desa Kasman Mahmud. Sebelum aksi tolak tambang yang berujung pada penangkapan 11 orang, warga telah menemui Kasman untuk membicarakan aktivitas PT Position. Kasman saat itu beralasan tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menghentikan aktivitas perusahaan.

“Torang bingung dasarnya apa pak kades bicara begitu. Torang ini hidup dan sekolah dari torang pe orang tua-tua sampe torang pe anak-anak semua karena kelapa dan pala, bukan tambang. Torang tolak aktivitas tambang bukan untuk hari ini saja, tapi untuk masa depan tong pe anak cucu,” ujar Kamaria.

Usai warganya ditangkap, Kasman disebut tak sekalipun menjenguk mereka. Bahkan menemui keluarga warga yang ditahan pun enggan.

“Yang ada torang justru diminta tanda tangan surat, katanya untuk bebaskan 11 orang itu. Tapi dalam isi surat ada beberapa poin-poin, salah satunya berjanji tara akan ganggu aktivitas tambang lagi. Jadi semua tolak tanda tangan,” ungkap Kamaria.

Kasman yang diwawancarai terpisah seolah mengambil jarak dari rakyatnya sendiri.

Kasman Mahmud. (Agus)

“Jadi orang ini kan orang yang berbuat sendiri, dan maka orang itu dapat sendiri,” kata Kasman datar.

“Kalau saya terlibat langsung dengan mereka, saya juga tidak ingin begitu. Karena mereka masuk sendiri, risikonya mereka tanggung sendiri,” imbuhnya.

Warga yang kini ditahan diketahui memprotes aktivitas PT Position yang telah masuk ke kawasan hutan adat tanpa persetujuan utuh dari masyarakat. Mereka melakukan aksi damai, termasuk mengambil kunci kendaraan perusahaan sebagai simbol penolakan. Namun tindakan itu berujung pelaporan ke polisi dan penangkapan.

Ketika ditanya apakah pihak desa mendukung aksi warga, Kasman hanya menjawab normatif.

“Mereka juga punya alasan, katanya lahan mereka dimasuki, dan lingkungan mereka rusak. Tapi kalau soal itu, kami di desa sudah koordinasi dengan perusahaan,” ujarnya.

Salah satu pemicu kemarahan warga adalah harga kompensasi tanah adat yang dinilai tidak masuk akal: Rp 2.500 per meter persegi—setara harga sebatang rokok. Namun Kasman menilai itu sudah sesuai kesepakatan.

“Kami sepakat, dua desa sepakat. Kalau mereka ada yang minta Rp 5.000 atau Rp 50.000 atau bahkan Rp 100.000 itu oknum. Tapi kesepakatan kami Rp 2.000–2.500 per meter. Karena itu kawasan hutan, bukan kebun,” tegasnya.

Ia menampik bahwa wilayah yang diserahkan adalah kebun produktif.

“Cuma kapling saja, tidak ada tanaman,” lanjutnya.

Namun realitas di lapangan membantah klaim itu. Warga menyebut banyak pohon pala, kelapa, dan sagu yang telah tertimbun aktivitas tambang. Beberapa keluarga menggantungkan hidup dari hasil kebun itu.

Warga juga mengungkapkan setelah penangkapan 11 warga pihak perusahaan memberikan tali asih sebesar Rp 10 miliar untuk desa Wailukum dan Maba Sangaji. Wailukum kebagian Rp 4 miliar lebih, sedangkan Maba Sangaji Rp 5 miliar lebih.

“Tapi itu bukan ganti rugi lahan dan tanaman,” tegas Kamaria. “Sampai sekarang uang Rp 5 miliar itu torang juga tidak tahu ada di mana,” sambungnya.

Soal tali asih dari perusahaan, Kasman menyebut Rp 10 miliar telah dijanjikan untuk dua desa, dan dibagi dalam dua termin.

“Satu termin sudah dibayar. Yang di Wailukum sudah dapat. Di sini masih menunggu termin berikut. Dibagi per KK, sesuai data masyarakat,” katanya.

Namun ketika ditanya lebih jauh soal legalitas tanah adat, Kasman ragu.

“Saya juga belum tahu apakah itu tanah adat. Tapi mereka kan demo bilang tanah adat. Saya tidak bisa pastikan.”

Kasman juga tak menampik bahwa banjir kini rutin menghantui warga Maba Sangaji. Namun ia tak sepenuhnya menyalahkan PT Position.

“Memang banjir. Tapi kan bukan hanya dari perusahaan. Perusahaan baru beroperasi. Sungai memang sudah banjir dari dulu,” ujarnya.

Soal pencemaran lingkungan, Kasman menyebut tidak ada dampak besar, hanya sebatas air yang keruh.

“Ikan-ikan memang mati. Tapi itu sudah biasa kalau perusahaan besar beroperasi,” pungkasnya enteng.

Namun warga yang ditemui menyatakan sebaliknya. Mereka menyebut air sungai kini tidak bisa diminum, tanaman terendam lumpur, dan tanaman tahunan mati akibat tertimbun aktivitas tambang. PT Position dituding sebagai penyebab utama.

Setelah kehilangan harapan terhadap polisi dan kepala desa, harapan Kamaria dan Suryati satu-satunya tersisa pada hakim. Mereka berharap hakim akan mengadili seadil-adilnya dan memutuskan suami-suami mereka tak bersalah.

“Torang ingin dorang dibebaskan, dan bisa pulang berkumpul lagi dengan keluarga. Dan torang tara akan berenti jaga tanah dan hutan. Tapi kalo hukum tidak adil, biarlah hukum lain yang bicara: hukum alam, hukum Tuhan,” pungkas Kamaria.

Ika Fuji Rahayu
Editor
Ika Fuji Rahayu
Reporter