Tandaseru — Hari itu, langit di Ternate diselimuti mendung tipis. Namun bagi Wahyuni Sahrudin, mahasiswi semester akhir Program Studi Pendidikan Biologi FKIP Universitas Khairun Ternate, awan yang menggantung bukan sekadar cuaca. Itu pertanda dari kesedihan yang telah berhari-hari menggumpal di dadanya: ayahnya, Sahrudin Awat, ditangkap polisi.
Yang membuat luka itu semakin dalam, kabar penangkapan itu bukan datang dari keluarga, bukan dari pejabat desa, bukan pula dari surat resmi. Ia tahu dari video viral di media sosial, yang menunjukkan 11 warga Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara, ditangkap aparat kepolisian karena dianggap menghalangi aktivitas tambang PT Position.
Di antara tubuh-tubuh yang digiring itulah, Wahyuni mengenali wajah yang begitu ia kenal: ayah kandungnya sendiri.
“Awalnya saya tidak percaya. Tapi saya tahu betul wajah papa. Itu dia. Itu papa saya,” ujar Wahyuni saat ditemui di Ternate, Senin (21/7/2025).
Setelah melihat video itu, Wahyuni langsung menghubungi ibu sambungnya di kampung. Tapi jawaban sang ibu justru membuatnya bingung.
“Mama bilang, ‘tidak mungkin, papa ada di kebun.’ Tapi saya tahu benar itu papa,” ucap Wahyuni.
Ia pun mengirim potongan video kepada ibunya. Lama tak dibalas, hingga akhirnya ibunya menjawab lirih: “Iya, ternyata benar…”
Hari itu jadi titik awal dari kesedihan panjang dalam hidup Wahyuni.
Wahyuni adalah anak tunggal dari pasangan Sahrudin Awat dan almarhumah Maskura Ibrahim. Ia tumbuh dalam keluarga sederhana yang menjunjung tinggi nilai pendidikan dan adat. Setelah ibunya wafat, Wahyuni melanjutkan kuliah dengan bantuan sang ayah yang bekerja serabutan di kampung. Kini, setelah ayahnya ditangkap, hidupnya di Ternate ditopang oleh bibinya —adik dari almarhumah ibunya.
“Kalau bukan karena bibi, saya mungkin sudah berhenti kuliah,” katanya.
Dua adik tirinya yang masih kecil kini tinggal bersama ibu sambungnya, dalam situasi yang juga penuh ketidakpastian.
Saat ini Wahyuni sedang menyusun skripsi, tapi ia merasa ironis karena realitas hidupnya sendiri justru menampar nurani.
“Saya tidak mengerti lagi apa arti keadilan,” ujarnya sambil mengusap air mata.
Di layar laptopnya, ia menulis huruf demi huruf demi merampungkan skripsinya. Tapi hatinya terpaut pada hutan, sungai, dan tanah adat yang terus dirampas atas nama investasi.
“Papa tidak merusak, papa tidak membakar, papa tidak merampok. Papa hanya menjaga hutan yang diwariskan oleh leluhur kami,” tegasnya.
Di balik luka itu, Wahyuni justru menyimpan rasa bangga.
“Kalau papa masuk penjara karena korupsi atau mencuri, saya pasti malu. Tapi papa ditangkap karena membela tanah, karena membela lingkungan. Saya bangga,” ujarnya.
Meski mengaku sedih dan kerap menangis di malam hari, Wahyuni tetap bertekad menyelesaikan kuliahnya.
“Saya ingin papa tahu bahwa perjuangan dia tidak sia-sia. Saya akan jadi guru. Saya akan ajarkan ke anak-anak bahwa hutan bukan untuk dijual, dan tanah adat bukan untuk dirampas,” tukasnya.
Ia berharap negara dan semua pihak membuka mata terhadap apa yang dialami oleh keluarganya dan warga Maba Sangaji.
“Tolong bebaskan papa saya. Beliau tidak bersalah. Dia dan teman-temannya hanya membela hak kami sebagai orang adat. Kami bukan penghambat pembangunan, kami hanya ingin hidup bermartabat di tanah sendiri,” pungkasnya.
Tinggalkan Balasan