Oleh: Irfan Hi. Abd Rahman

Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pulau Morotai

________

DISKURSUS tentang pemekaran Sofifi menjadi daerah otonom baru (DOB) kembali mengemuka dalam ruang wacana publik. Namun, alih-alih menjadi ruang deliberatif yang menyatukan visi pembangunan, gagasan ini justru menciptakan disonansi antar-aktor politik dan sosial-budaya. Pemerintah Provinsi Maluku Utara bersama DPRD tampak proaktif mendorong percepatan DOB Sofifi, sementara Pemerintah Kota Tidore Kepulauan dan institusi adat Kesultanan Tidore justru menyuarakan penolakan terbuka.

Kondisi ini memperlihatkan adanya defisit komunikasi kebijakan (policy communication deficit) yang dapat berimplikasi serius terhadap legitimasi sosial dan politik pemekaran itu sendiri. Pernyataan dukungan Gubernur terhadap pemekaran Sofifi, yang disampaikan tanpa proses konsultasi publik yang transparan dan tanpa melibatkan otoritas yang memiliki keterkaitan historis maupun administratif, dinilai sebagai bentuk komunikasi politik yang prematur.

Padahal secara administratif, Sofifi masih merupakan bagian integral dari Kota Tidore Kepulauan, dan secara historis memiliki keterikatan kultural yang erat dengan Kesultanan Tidore. Oleh karena itu, pelibatan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang memiliki otoritas historis, administratif, dan sosial merupakan syarat mutlak dalam setiap proses kebijakan yang berpotensi mengubah struktur pemerintahan dan geospasial.

Kebutuhan Pemekaran: Mendesak, Tetapi Perlu Kearifan

Secara objektif, terdapat urgensi untuk mendorong Sofifi menjadi entitas administratif tersendiri. Sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara, Sofifi menghadapi keterbatasan kelembagaan dan kapasitas fiskal akibat statusnya yang belum otonom. Fungsi koordinatif pemerintahan provinsi di wilayah ini kerap terkendala oleh tumpang tindih kewenangan antara struktur provinsi dan kota induk.

Namun demikian, kebutuhan administratif tidak serta-merta mengabaikan dimensi sosial, politik, dan kultural yang menyertainya. Pemekaran bukanlah sekadar pengaturan teritorial, melainkan proses rekonstruksi otoritas yang dapat menggeser relasi kuasa antara aktor negara dan komunitas lokal. Maka dari itu, prinsip kehati-hatian (prudential principle) serta asas inklusivitas dalam perumusan kebijakan harus menjadi pedoman utama.

Komunikasi Publik: Kunci dalam Konsolidasi Kepentingan

Dalam kajian komunikasi kebijakan, sebagaimana dirumuskan oleh Harold D. Lasswell, keberhasilan komunikasi terletak pada kemampuannya menjawab lima elemen: siapa yang berbicara, apa yang disampaikan, kepada siapa, melalui media apa, dan dengan dampak seperti apa. Ketika salah satu elemen tersebut diabaikan, maka komunikasi berisiko melahirkan disinformasi, resistensi, dan konflik.

Wacana pemekaran Sofifi menunjukkan gejala kegagalan komunikasi strategis. Tidak adanya forum konsultatif, minimnya transparansi kajian, dan lemahnya pelibatan publik telah memperkuat persepsi negatif, bahwa kebijakan ini bukan dilandasi kebutuhan publik, melainkan agenda elite politik. Hal ini menunjukkan bahwa niat baik pemerintah tidak serta-merta diterjemahkan sebagai kemaslahatan bersama jika tidak dikemas dalam kerangka komunikasi publik yang deliberatif.

Dalam konteks kebijakan sensitif, seperti pemekaran wilayah, komunikasi publik bukan sekadar sarana sosialisasi, tetapi merupakan arena negosiasi makna, legitimasi, dan kepentingan. Kesalahan dalam menyampaikan pesan dapat menciptakan dislokasi makna di mana inisiatif pembangunan dipersepsikan sebagai ancaman terhadap identitas dan hak kolektif.

Implikasi Fiskal dan Tantangan Keadilan Spasial

Salah satu isu strategis yang belum dijelaskan secara gamblang oleh Pemerintah Provinsi adalah dampak fiskal dan administratif yang akan ditanggung oleh Kota Tidore Kepulauan sebagai wilayah induk. Pemekaran Sofifi secara langsung akan mempersempit luas wilayah dan mengurangi jumlah penduduk Kota Tidore, yang berimplikasi pada penurunan nilai Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang selama ini dihitung berdasarkan variabel geografis dan demografis.

Minimnya penjelasan tentang mekanisme kompensasi fiskal dan belum adanya kajian terbuka tentang redistribusi kewenangan dan aset memperkuat asumsi bahwa kebijakan ini belum melalui tahapan analisis kebijakan yang memadai. Seharusnya, studi kelayakan pemekaran dilakukan secara komprehensif, mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi, kesiapan kelembagaan, hingga dampak psikologis terhadap masyarakat lokal yang merasa tercerabut dari sejarah dan identitasnya.

Kesultanan Tidore: Entitas Kultural yang Tidak Bisa Dinegasikan

Dalam konteks sosiopolitik Maluku Utara, Kesultanan Tidore merupakan institusi adat yang memiliki otoritas simbolik sekaligus legitimasi historis. Daratan Oba yang menjadi bagian dari wilayah Sofifi secara historis merupakan wilayah Kesultanan Tidore. Maka, proses perumusan dan implementasi kebijakan pemekaran seharusnya tidak dapat dilepaskan dari konsultasi dan persetujuan institusi adat sebagai representasi kolektif kultural masyarakat.

Pelibatan institusi adat bukan hanya bersifat simbolik, tetapi merupakan bagian dari pengakuan terhadap pluralisme tata kelola (legal pluralism) dalam konteks Indonesia yang majemuk. Pemerintah seharusnya membangun narasi bahwa pemekaran ini bukan pemisahan ideologis dari Kesultanan, tetapi semata-mata penguatan struktur administratif dalam kerangka pelayanan publik modern. Namun narasi semacam ini hanya akan memiliki kekuatan apabila didasarkan pada dialog horizontal, bukan keputusan sepihak.

Perlu Membangun Platform Dialogis dan Transparan

Sudah saatnya semua pemangku kepentingan duduk bersama dalam forum musyawarah daerah yang inklusif. Pemerintah provinsi harus membuka ruang partisipatif untuk Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, Kesultanan Tidore, tokoh masyarakat, akademisi, dan lembaga adat. Forum ini penting untuk menyamakan persepsi, menyusun peta jalan pemekaran yang akuntabel, dan memastikan bahwa tidak ada aktor yang dirugikan secara struktural maupun simbolik.

Pemekaran Sofifi hanya akan mendapat legitimasi apabila dilandasi prinsip transparansi, partisipasi, dan keadilan spasial. Ia harus menjadi agenda publik, bukan sekadar proyek elite politik. Jika dilakukan dengan pendekatan yang matang dan kolaboratif, pemekaran ini dapat menjadi katalisator percepatan pembangunan dan pemerataan layanan publik di Maluku Utara.

Namun sebaliknya, jika dijalankan secara tergesa dan elitis, DOB Sofifi berpotensi menjadi preseden buruk dalam sejarah kebijakan otonomi daerah. Ia dapat menjadi simbol kegagalan negara dalam mengelola keberagaman dan mengintegrasikan identitas lokal dalam kerangka pembangunan nasional. (*)