Oleh: M. Jain Amrin

________

DI atas lembaran konstitusi negeri ini, tertulis dengan gagah bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 tak ubahnya janji luhur negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun, di balik teks sakral itu, realitas berkata lain. Hari ini, pendidikan tak lagi menjadi hak yang dijamin, melainkan kemewahan yang dijual dengan harga mahal sebuah privilege yang hanya dinikmati oleh mereka yang lahir di tempat yang “benar” dan memiliki cukup uang untuk membeli masa depan.

Negara, yang seharusnya menjadi ibu bagi semua anak bangsa, justru tampak absen di banyak tempat. Di pedalaman Papua, di lereng Nusa Tenggara, di pesisir Kalimantan dan desa-desa Sumatera anak-anak belajar di bawah atap yang nyaris roboh, tanpa guru tetap, tanpa listrik, bahkan tanpa harapan. Sementara itu, di kota-kota besar, pendidikan dilumuri iklan, dikomersialkan, dan diperlombakan dalam sistem yang tak semua mampu mengikutinya.

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, pernah berujar:

“Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”

Namun hari ini, siapa yang berani berkata bahwa pendidikan menuntun pada keselamatan, jika akses terhadapnya sendiri masih begitu timpang? Pendidikan telah menjauh dari esensi kemanusiaan, berubah menjadi sistem seleksi ekonomi dan negara diam, atau bahkan turut serta dalam pembiaran itu.

Tan Malaka, dalam semangat revolusionernya, menyebut pendidikan sebagai alat pembebasan:

“Pendidikan adalah alat pembebasan. Suatu bangsa yang tidak memperjuangkan pendidikannya sendiri, berarti sedang memperpanjang penjajahan dalam bentuk baru.”

Dan itulah yang terjadi: rakyat dijajah bukan oleh kolonialisme asing, tetapi oleh ketimpangan dan kebijakan yang tidak berpihak. Di tengah megahnya kampanye digitalisasi, masih ada anak yang harus meminjam seragam, berbagi buku, dan menggantungkan nasib pada guru honorer yang bergaji tak manusiawi.

Negara Gagal Menjadi Pengayom Pendidikan

Dalam teori negara kesejahteraan (welfare state), pendidikan adalah tanggung jawab negara yang tak boleh diprivatisasi secara ekstrem. John Rawls, dalam teorinya tentang keadilan, menekankan bahwa distribusi sumber daya dasar seperti pendidikan harus memperhatikan yang paling lemah dalam masyarakat. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: pendidikan negeri kehilangan rohnya, sementara pendidikan swasta tumbuh menjadi menara gading yang hanya dapat dinaiki oleh mereka yang “cukup mampu.”

Negara, dengan segala instrumen kekuasaannya, seharusnya tidak hanya menyediakan pendidikan, tetapi menjamin kualitas dan kesetaraan. Negara seharusnya hadir bukan sekadar lewat slogan di Hari Pendidikan Nasional, tetapi nyata dalam langkah, dalam anggaran, dalam kebijakan.

Dari Hak Menjadi Privilege: Ironi Pendidikan Kita

Ketika biaya pendidikan terus naik, ketika guru dijadikan tenaga kontrak jangka pendek, ketika sistem pendidikan diatur berdasarkan pasar dan bukan keadilan—maka saat itu pula kita menyaksikan bahwa pendidikan telah dicabut dari rakyat.

Pendidikan seharusnya merdeka. Bukan menjadi alat pemisah antar kelas sosial.
Pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membelenggu lewat seleksi yang menyingkirkan si miskin.

Waktunya Bangkit, Bukan Mengeluh
Kini, saatnya kita tidak hanya mengulang kata-kata heroik dari para pendiri bangsa, tapi benar-benar menghidupkan kembali semangat mereka. Pendidikan bukan belas kasih negara. Ia adalah hak rakyat yang harus diperjuangkan. Bila negara terus abai, maka rakyat harus bersuara. Karena tak ada bangsa yang maju, bila rakyatnya tetap dibiarkan bodoh.

“Selama rakyat tidak mendapatkan pendidikan, maka kebodohan menjadi alat paling efektif untuk melanggengkan kekuasaan yang lalim.”

Dan pada titik itulah, kita harus memilih diam dalam sistem yang timpang, atau berdiri dalam semangat Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, dan seluruh mereka yang pernah bermimpi tentang negeri yang adil dan dan makmur.