Oleh: Asmar Hi. Daud

Akademisi FPIK Unkhair Ternate

Maluku Utara masih harus bergulat dengan paradoks pahit. Di tengah gencarnya narasi “Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia,” provinsi yang dikenal sebagai lumbung perikanan dan tambang nasional justru belum sepenuhnya menikmati keadilan dalam pelaksanaan program strategis pemerintah pusat. Salah satu contohnya adalah penetapan Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Padahal, kontribusi Maluku Utara terhadap perekonomian nasional sangat signifikan. Sektor pertambangan menyumbang hampir 49% terhadap struktur ekonomi provinsi, dan sekitar 44% dari total ekspor nikel Indonesia (Januari–Juni 2024) berasal dari wilayah ini, dengan nilai mencapai US$ 1,42 miliar (sumber: BPS, media industri nikel 2024). Artinya, Maluku Utara adalah pilar penting dalam rantai pasok global dan agenda hilirisasi nasional.

Namun ironi muncul saat kita melihat alokasi program pembangunan strategis di sektor kelautan dan perikanan. Enam desa yang ditetapkan sebagai KNMP pada tahun 2025 semuanya berasal dari sebagian wilayah kabupaten, yaitu:

1. Supu – Halmahera Utara
2. Tuada – Halmahera Barat
3. Loleo – Halmahera Tengah
4. Wasileo – Halmahera Timur
5. Bajo – Kepulauan Sula
6. Sangowo – Pulau Morotai

Sementara empat wilayah penting lainnya—Kota Ternate, Kota Tidore Kepulauan, Halmahera Selatan, dan Pulau Taliabu tidak memperoleh satu pun Kampung Nelayan atau Kampung Budidaya. Padahal, secara historis dan kontribusi nyata, keempatnya merupakan sentra penting perikanan tangkap maupun budidaya.

Ternate dan Tidore adalah pusat pelabuhan dan aktivitas nelayan tertua di provinsi ini; Halmahera Selatan merupakan penyumbang produksi perikanan terbesar; dan Taliabu dikenal sebagai daerah penghasil rumput laut yang paling konsisten sejak lama.

Benar bahwa ada klaim bahwa masuknya enam kabupaten tersebut dalam program KNMP merupakan hasil dari komunikasi intens dan advokasi Gubernur Sherly Tjoandra ke kementerian. Ini adalah hal yang wajar dan menjadi bagian dari fungsi strategis kepala daerah. Namun, klaim keberhasilan politik tidak serta-merta menjamin diterimanya seluruh usulan. KKP tetap menerapkan parameter teknis ketat, antara lain:

Legalitas administratif desa (apakah sudah ditetapkan sebagai desa nelayan)

Kesesuaian spasial dan karakteristik kawasan (akses, potensi, SDM, fasilitas)

Kelengkapan usulan berbasis data dan dokumen

Skala pengaruh dan keberlanjutan program

Dengan kata lain, keberhasilan sebuah desa ditetapkan sebagai KNMP sangat ditentukan oleh kesungguhan pemerintah kabupaten/kota dalam menyusun proposal yang sesuai standar, bukan semata oleh kekuatan politik. Justru peran aktif daerah dalam memenuhi verifikasi teknis adalah faktor paling menentukan.

Kasus Dufa-dufa

Penetapan Dufa-dufa di Kota Ternate oleh Gubernur Sherly sebelumnya sebagai kampung nelayan merupakan inisiatif daerah yang patut diapresiasi—baik sebagai langkah simbolik, maupun strategi identitas politik yang inklusif. Namun, hingga kini Dufa-dufa belum diakomodir dalam skema KNMP nasional, kemungkinan karena:

Belum memiliki dasar administratif formal (misalnya SK Wali Kota atau Perda tentang desa nelayan)

Tidak memenuhi skala kawasan strategis sesuai standar KKP

Belum ada usulan teknis resmi yang diajukan ke KKP secara terstruktur

Kemungkinan KKP memprioritaskan wilayah kabupaten, bukan kota, pada tahun anggaran ini

Ketimpangan antara inisiatif politik daerah dan pengakuan teknis pusat seperti ini menunjukkan lemahnya sinkronisasi kebijakan. Jika benar “terobosan politik” mampu menggeser standar teknis, maka muncul ruang tafsir keliru yang berbahaya bagi prinsip keadilan spasial dan akuntabilitas program pusat.

Refleksi Kritis

Karena itu, wilayah yang belum lolos penetapan—Ternate, Tidore, Halmahera Selatan, dan Taliabu—perlu melakukan refleksi kritis:

Sudahkah dokumen usulan lengkap dan sesuai format juknis KKP?

Apakah sudah tersedia peta tapak, profil desa, dan kajian kebutuhan nelayan?

Apakah pendekatan pembangunan desa nelayan dilakukan secara lintas sektor?

Program afirmatif seperti KNMP tidak boleh bersifat eksklusif, elitis, atau transaksional. Ia harus didasarkan pada:

Data objektif dan kontribusi nyata

Potensi jangka panjang

Kesiapan institusional dan keberlanjutan sosial-ekonomi

Kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, mesti menjadi jembatan aspirasi masyarakat pesisir kepada negara—bukan hanya aktor politik yang berlomba merebut panggung.

Penetapan kampung nelayan bukanlah ajang pencitraan atau simbolisme politik, melainkan bentuk pengakuan negara atas kerja keras masyarakat pesisir yang selama ini menopang ketahanan pangan laut nasional. Narasi “terobosan” tidak boleh menjadi dalih untuk menyingkirkan prinsip keadilan spasial, integritas teknokratis, dan partisipasi merata seluruh kabupaten/kota di Maluku Utara.

Jika kita ingin membangun sektor kelautan yang kuat dan inklusif, maka KNMP harus diperluas, dirancang secara kolaboratif, dan dikelola dengan transparan. Politik boleh punya peran, tapi jangan sampai “terobosan” menyingkirkan keadilan.