Tandaseru — Komite II DPD-RI melakukan Rapat Kerja dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Senin (24/2/2025). Rapat yang dihadiri Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung beserta jajarannya ini membahas mengenai program kerja Kementerian ESDM tahun sebelumnya dan tahun 2025 ini.
Merespon paparan Yuliot, Dr. R. Graal Taliawo, S.Sos., M.Si. yang merupakan anggota DPD-RI dari Maluku Utara mengapresiasi keputusan Kementerian ESDM mengenai penarikan izin usaha pertambangan yang tumpang tindih sehingga tidak produktif. Ia juga menegaskan bahwa DPD sebagai mitra kerja Kementerian ESDM bersedia berkolaborasi untuk menyelesaikan
masalah di lapangan (provinsi masing-masing). Pun, ia turut menyiapkan dokumen (masalah dan rekomendasi solusi) terkait lingkup energi dan sumber daya mineral di Maluku Utara yang akan diserahkan ke Wakil Menteri ESDM.
Menjeda Izin Usaha Pertambangan
Dalam rapat kerja ini, Dr. Graal menyoroti beberapa hal. Pertama mengenai kemungkinan adanya kebijakan menjeda pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP), khususnya di provinsi yang sebagian besar lahan pertanian/perkebunannya mengalami krisis.
“Sebagai contoh kasus, kami di Maluku Utara mengalami krisis lahan pertanian dan perkebunan yang telah beralih fungsi menjadi lahan pertambangan akibat masa lalu IUP-IUP ‘diobral’ ketika kewenangan pemberian IUP masih ada di Pemerintah Daerah,” ungkap doktor ilmu politik ini.
Ia menambahkan bahwa Kabupaten Taliabu terbilang miris karena satu pulau tersebut
sudah penuh dengan izin pertambangan. Juga wilayah Kabupaten Halmahera Tengah sudah sekitar 50%-nya adalah area konsesi pertambangan, sedangkan untuk lahan pertanian hanya sekitar 2.600 hektare. Menurutnya, ini tentu akan berdampak fatal pada kepentingan pangan kami mendatang: tidak mampu swasembada pangan dan harus mendatangkan pangan dari luar daerah.
“Kira-kira apakah memungkinkan di tengah krisis pangan hari ini dan krisis lahan karena adanya alih fungsi lahan, ada kebijakan untuk jeda mengeluarkan izin pertambangan baru?” tanya Dr. Graal.
Memetakan Lahan
Kedua, laki-laki kelahiran Wayaua, Bacan ini mencermati terkait konflik lahan yang kerap
terjadi antara perusahaan tambang dengan masyarakat adat dan masyarakat lokal.
“Di Maluku Utara, misalnya, area hidup masyarakat adat suku Tobelo Dalam di Halmahera Timur beririsan dengan lahan pertambangan. Selain itu, tidak sedikit lahan pertanian/perkebunan warga atau area hutan lindung bersinggungan dengan lahan pertambangan, seperti di Desa Sailal, Desa Baburino, Desa Buli Asal, Desa Cemara Jaya, Desa Pintatu di Kabupaten Halmahera Timur, Desa Bobo di Kabupaten Halmahera Selatan, dan wilayah lainnya,” jelasnya.
Menurut Dr. Graal, secara umum lahan di Indonesia ini berpenghuni, bukan lahan kosong.
Ia menguraikan, “Demikian halnya hutan, Mahkamah Konstitusi mengatakan ada hutan adat dan ada hutan negara. Yang berarti bahwa hutan adat diakui oleh negara. Kami berharap, sebelum IUP diberikan, harus ada pemetaan lahan terlebih dahulu: lahan adat, hutan lindung, area pertambangan, dan lainnya. Strategi pemetaan setiap lahan perlu jelas dan tidak boleh ada IUP diberikan sebelum ada pemetaan,” tambahnya.
Komitmen Mitigasi Kerusakan Lingkungan
Lebih lanjut Dr. Graal yang dikenal juga sebagai pegiat Politik Gagasan menyampaikan dampak kerusakan lingkungan yang terjadi selama ini akibat aktivitas pertambangan.
“Kami di Maluku Utara memiliki tiga teluk: Teluk Obi, Teluk Buli, dan Teluk Weda yang perairannya kini tercemar logam berat. Berdasarkan riset, ikan-ikan dari teluk-teluk tersebut sudah tidak layak dimakan karena mengandung merkuri. Belum lagi dampak ekologis lainnya,” jelasnya.
Karena itu, menurut anggota Komite II DPD-RI ini, dengan berkaca pada masalah di
lapangan tersebut adalah penting sekali untuk komitmen melaksanakan kebijakan mitigasi terhadap persoalan lingkungan melalui Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Pemerintah Pusat perlu untuk mengevaluasi pelaksanaan AMDAL dan menindaklanjuti (bahkan) mencabut IUP jika terbukti ada pengabaian/pelanggaran,” dorongnya.
Respon Positif Wakil Menteri
Menanggapi keresahan yang disampaikan oleh Dr. Graal, Yuliot Tanjung mengakui
pentingnya tata kelola yang lebih baik dalam proses perizinan pertambangan. Pak Wakil Menteri mengatakan bahwa Kementerian ESDM berkomitmen untuk mempercepat integrasi sistem perizinan yang dapat meminimalisasi kendala birokrasi yang berlarut-larut dan mengurangi tumpang tindih izin. Ia juga menjelaskan bahwa perbaikan tata kelola lokasi dan pemetaan lahan akan menjadi prioritas, termasuk penegakan aturan terkait reklamasi pasca-tambang.
Ia sepakat bahwa kebijakan mitigasi untuk kerusakan lingkungan akibat pertambangan
harus dilakukan dengan serius, termasuk kewajiban bagi perusahaan tambang untuk melakukan reklamasi dan pemulihan pasca-tambang sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
“Kami terus berupaya meningkatkan pengawasan dan memastikan bahwa perusahaan tambang bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan,” ucap Yuliot Tanjung.
“Kami sangat terbuka mendukung tata kelola pertambangan yang lebih baik di Indonesia
dan mengutamakan kesejahteraan warga juga keberlanjutan lingkungan,” ucap Dr. Graal ke Wakil Menteri sambil menyerahkan dokumen (masalah dan rekomendasi solusi).
Tinggalkan Balasan