Oleh: Anwar Husen

Tinggal di Tidore

_______

DI era ini, ketika akses terhadap karier dan jabatan publik bisa diraih dengan segala macam cara, dari menginjak teman, menampilkan kesan manipulatif hingga kental perilaku suap. Kita sulit melacak orisinalitas dan autentikasi integritas diri, kompetensi dan komitmen personal. Menulis biografi, sekurang-kurangnya profil singkat seseorang karena sebab meraih jabatan publik yang terhormatpun, jadi terasa “hambar” dan tak laku. Yang tersisa, kita harus melirik jauh ke dalam, menemukan angle lain, “keterampilan” kemanusiaan dan humanis. Sudah tentu, harus orisinal.

Setiap orang punya alasan untuk mengatakan bahwa sesuatu itu berkesan baginya. Bahwa sesuatu objek atau situasi yang dialami itu adalah hal yang relatif baru dan memberi pengalaman batin tersendiri yang bermanfaat. Tentunya, butuh sedikit kepekaan dalam melihat “ruang kosong” itu. Dan ruang kosong itu adalah perjumpaan saya dengan sosok ini, Ridha Ajam. Lengkapnya, Dr. M.Ridha Ajam, M.Hum. Beliau Rektor Univesitas Khairun Ternate saat ini.

Ada dua hal yang bikin sosok ini terlintas di benak saya. Pertama, ketika membaca sebuah berita, lelang jabatan bagi pejabat eselon dua di pemerintahan di tiadakan dan diganti dengan memaksimalkan talent pool. Kedua, ketika saya iseng mengintip akun Facebook saya, yang telah lama dinonaktifkan. Ada ucapan selamat ulang tahun buat saya, untuk empat tahun berturut-turut. Mungkin saja tak diketahui tentang “nasib buruk” yang menimpa akun ini. Sejujurnya, saya sedikit membatin merenunginya, ada rasa bersalah tak bisa meresponnya. Atau sekurang-kurang memberi tahu bahwa akun ini telah lama “berpulang”. Hal kecil yang jadi pemantik kesan hingga membentuk persepsi.

Berita media tadi mengingatkan saya pada kesan, ketika pernah mengikuti lelang jabatan di sebuah pemerintahan, di sekitar tiga tahun lalu. Sosok ini, salah satu anggota tim pengujinya. Di sesi terakhir, wawancara, kami bertemu. Saya sedikit kaget juga karena mekanismenya tak baku. Yang saya bayangkan akan ada mekanisme tanya-jawab, sebagaimana umumnya yang pernah dialami. Beliau justru mengajak saya berdiskusi tentang lokus tema pada jabatan yang saya lamar. Ini kesan paling membekas bagi saya dari sosok ini karena beliau “tampil beda”. Ada mindset kesetaraan, equal. Dan tidak mengesankan subordinat, sebuah model pembelajaran “zaman jahiliah”. Bahwa cara atau metode itu hanya alat untuk menemukan “substansi”. Dan cukup banyak cara mutakhir, hasil riset tentang metode pembelajaran dan pengembangan diri yang lebih akademik dan terukur.

Hal begini tak saya alami, ketika menjalani hal sama di banyak kesempatan. Entah karena beliau memandang saya sebagai sosok yang “setara” karena pernah mengemban jabatan di lokus tema yang sama, di level pemerintahan berbeda, ataukan ada alasan lain. Yang pasti, kami pernah saling mengakrabi saat saya pernah menjadi pimpinan perangkat daerah yang mengurusi soal pendidikan sekian puluh tahun lalu. Dan yang pasti pula, suasana dialogis itu, tak saya temukan di sesi dan kegiatan yang sama, di tempat lain.

Yang ada, malah jadi ajang saling jebak, menunjukkan superioritas dan kesan subordinat yang kental hingga nyaris menyamai suasana ujian tertutup di level doktoral. Padahal semua orang tahu dan baca aturannya, apa sih hebatnya urusan lelang jabatan di pemerintahan, karena pada akhirnya semua bisa diatur dan kepala daerah punya otoritas penuh. Mengesankan, alur drama yang receh, penuh kepura-puraan. Saya sering berseloroh dengan sesama teman peserta, kita tukar posisi. Kita jadi panelis dan mereka-mereka jadi peserta yang diuji, bisa jadi mereka kelimpungan juga. Tapi bukan soal itu. Ada filosofi dan prinsip dasar model pendidikan modern, pembelajaran orang dewasa yang kolaboratif dan equal.

Ada yang lucu dan bikin heboh dari cerita lelang jabatan ini, di rentang setahun lalu. Seorang pelaksana tugas kepala daerah menolak hasil yang disodorkan panitia seleksi yang dibentuknya sendiri. Tak jelas apa alasannya. Yang jelas, hasilnya berupa 3 peserta urutan terbaik versi tim, tak ditindaklanjutinya hingga periode jabatannya berakhir. Mungkin saja, pilihan orang-orang itu bukan “selera” sang pejabat. Tetapi juga bukan berarti tim seleksinya yang hebat. Sering sekali terlihat, prinsip objektivitas dan kredibilitas jadi “remang-remang”.

Memang bukan rahasia lagi urusan selera ini, betapapun kompetensi anda sebagai peserta bisa paling hebat dan tinggi, menjangkau “ruang angkasa” sekalipun, tak jadi jaminan sedikitpun. Cara yang paling “tidak berisiko” adalah anda tak masuk tiga besar. Dan perang media terjadi. Ketua tim seleksi hingga mengancam akan membuka hasilnya ke publik. Hasil yang objektif versi tim tentunya. Tak lama, datang Komisi Pemberantasan Korupsi KPK “menyerbu” Maluku Utara. Alhasil, terungkap salah satunya “temuan” yang terbuka ke publik, ada hasil lelang jabatan yang terindikasi suap, jual beli jabatan. Lucu. Urusan lelang jabatan ini, sering disinyalir jadi pasar gelap jual-beli jabatan. Banyak kepentingan yang saling mengarsir di sini. Banyak fakta persidangan di pengadilan tipikor dalam kasus yang diendus KPK itu memberi petunjuk ke arah ini.

Charlie Chaplin (1889-1977), seorang pelawak, sutradara dan komposer film paling terkenal dari Inggris, pada era film bisu, dan dianggap salah satu tokoh penting dalam sejarah industri film. Ada Anomali dan potongan ungkapan lucunya, yang saya dapati: Saya pernah menyamar dan ikut dalam lomba “Paling Mirip Charlie Chaplin”, dan mendapatkan peringkat kedua. Sementara peringkat pertama jatuh pada anak dari Ketua Panitia Lomba.

Tak banyak informasi detail yang bisa saya ketahui dari sosok Ridha ini. Termasuk mau melacak informasi mengapa beliau hingga menjadi pimpinan perguruan tinggi kebanggaan orang Maluku Utara itu, di penghujung kariernya sebagai dosen hingga “dilompati” para yuniornya. Ini dirasa wajar karena beliau salah satu dosen dan orang Maluku Utara paling awal, yang punya gelar akademik tertinggi (doktoral) saat itu, puluhan tahun lalu. Tetapi informasi tentang “barang bagus” ini tak terlacak. Padahal ini adalah sisi menarik yang hendak dielaborasi detailnya.

Di awal pertumbuhan Maluku Utara sebagai daerah otonom terpisah dari propinsi Maluku, sang rektor yang bijak ini, telah lama makan asam garam dalam menyuarakan kebaikan hingga mendambakan hari depan daerah ini yang lebih baik. Bersama beberapa pentolan dan tokoh yang peduli, mereka membentuk LSM Konsorsium Makuwaje, bermakna saling mengingatkan, sebuah frasa lokal paling tenar dan disegani ketika itu, menyuarakan kebenaran dan keadilan hukum bagi semua orang. Margarito Kamis, pakar hukum tata negara itu, salah satu pentolannya.

Beberapa saat, usai sesi bacarita dengan panelis ini, di kesempatan lelang jabatan tadi, sang ini rektor ini melangkah keluar ruangan, menaiki mobil dinasnya, jenis sedan berwarna hitam, untuk kembali ke kampus. Kami saling melambaikan tangan. Aura ketenangan, kematangan dan penuh kebijaksanaan, terpancar kuat dari rautnya yang cerah di sore itu. Wallahua’lam. (*)