Oleh: M. Wahib Sahie

Dalam setiap diskusi bersama teman-teman selama beberapa bulan terakhir ini memberi saya untuk menemukan beberapa pertanyaan yang selalu memaksaku bertengkar dalam menulis; untuk apa menulis? Dari mana saya harus mulai menulis pemikirannya? Dan siapa saya untuk menulis? Malam ini saya akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Pada tahun 2022, tepat di warung kopi Jarod, hingga kurang lebih dua tahun berselang saya mengenal Basri Salama. Teman-teman karibnya mungkin lebih akrab dengan sapaan Bas. Awal pertemuan itu berlangsung dalam suasana humoris. Bagaimana caranya bertukar saran, pendapat penuh canda ria. Tetapi saya masih memposisikan diri atau menjaga batas sembari meneguk kopi dan tak mengajukan tanya sedikitpun. Sesekali saya sering dihujani kritikan dengan alasan seolah logis. Terutama saat perjamuan bersama teman-temannya.

Sebagai politisi senior kegemaran Basri Salama ialah bercerita, berdiskusi atas isu-isu politik terutama dalam konteks Provinsi Maluku Utara. Saya menyaksikan, mendengar bagaimana pemikiran politiknya dieksplorasi, dipertentangkan secara logis dan bertanggung jawab. Hal tersebut tentunya karena segudang pengalaman literasi dan stok pengetahuan yang cukup.

Dalam konteks pengalaman, tidak saya sebutkan ataupun menarasikan lebih panjang, tetapi kurang lebih, Basri Salama pernah menjabat anggota DPD RI, Ketua Partai Hanura Provinsi Maluku Utara, seorang tokoh pemekaran Provinsi Maluku Utara dan mungkin kita pernah mendengar dan membaca pandangan-pandangan politiknya yang beredar lewat opini publik.

Sebagai penikmat literasi saya malah mengira bahwa Basri Salama adalah seorang politisi yang tak sekedar mengartikan politik sebatas “citra-politik” dan kompromi kepentingan untuk sebagian kelompok tertentu tanpa mendiskusikan gagasan politik yang lebih luas sekaligus mampu dipertanggung jawabkan. Atas sikap, intelektualitas Basri Salama mampu me Misalnya, beberapa bulan lalu saat diskusi bersama Insan Pers bertajuk “Peran Penting Media Lahirkan Pemimpin Serba Bisa” yang kurang lebih dihadiri delapan puluh jurnalis dan pemilik media (baca tandaseru.com 2024). Secara lantang Basri Salama berani mempertentangkan dengan tegas atas ide atau gagasan politiknya.