Menurutnya, selama ini pemimpin di Maluku Utara, baik gubernur maupun kepala SKPD, tidak punya gagasan yang orisinal untuk membangun daerah. Tidak seperti pemimpin-pemimpin di daerah lain.

Zainal Basri Palaguna, misalnya, ketika ia memimpin Makassar atau Sulawesi Selatan di masa Orde Baru, ada konsepnya tentang perubahan pola pikir. Menjadikan Universitas Hasanuddin sebagai mitra, ia mengubah pola pikir masyarakat supaya maju, bisa beradaptasi dengan perubahan.

“Karena itu, Makassar maju sampai sekarang,” terangnya.

Begitu pula Sulawesi Tenggara yang dulu dianggap sebagai provinsi paling terbelakang. Tetapi ketika dipimpin oleh Gubernur Alala, dengan konsep Gersamata (Gerakan desa makmur merata), sekarang maju luar biasa. Termasuk di Gorontalo saat di bawah kepemimpinan Fadel Mohamad, bisa memajukan daerah tersebut dari sektor pertanian jagung.

“Di Maluku Utara, sekelas pimpinan OPD, tidak ada terobosan. Kayak dinas pendidikan. Kepala dinas pendidikan hanya pikir proyek. Bagaimana distribusi proyek. Urusannya hanya dengan kontraktor. Dia tidak berpikir membangun kualitas pendidikan di tingkat SD, SMP, maupun SMA,” beber Darsis.

Karena itu, menurutnya, ke depan Maluku Utara membutuhkan pemimpin yang punya gagasan. Bukan hanya mengandalkan pamer muka di baliho.

Ia bilang, ada figur yang punya ide dan bisa dipercayakan menjadi pemimpin Maluku Utara ke depan. Salah satunya adalah Sultan Tidore Husain Alting Sjah.

Bagi ia, selain ada gagasan, Sultan Tidore punya keberanian untuk membela kepentingan daerah di pemerintah pusat. Saat itu, ia berani menghadapi pemerintah pusat yang hendak “menjual” Pulau Morotai ke Jepang. Termasuk ketika Sultan Tidore di Dewan Perwakilan Daerah (DPD), walaupun kewenangan DPD terbatas, ia cukup kritis.

“Saya akui orang yang begini, sangat punya visi dan sangat bijak. Dan, katorang belum lihat dia bafoya (berbohong, red),” ungkapnya.

Bagi Darsis, yang paling penting bagi calon pemimpin Maluku Utara ke depan adalah, dia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Dengan begitu, ia sepenuhnya dapat mendedikasikan dirinya untuk masyarakat Maluku Utara.

Pemimpin Maluku Utara, sambung Darsis, juga harus dengar pendapat orang lain, termasuk menerima kritikan.

“Para cendekiawan harus dirangkul untuk jadi teman dialog. Jadi, harus dengar orang lain, jangan bikin diri feodal,” tandasnya.