Seorang staf biasa, sebagai ketua RT dalam jajaran aparat desa, begitu ketakutan, sampai-sampai tak punya nyali, bahkan sekadar hanya untuk datang menjeguk tetangganya yang sedang sakit. Ini soal kemanusiaan, apalagi sebagai tetangga pasti punya rasa iba atas sesama, sekalipun beda pilihan dalam politik, namun apa daya sebagai RT teror politik sihir begitu kuat menyandera pikiran, hati dan tindakan.
Seorang ibu yang hanya bekerja sebagai kader posyandu juga mengalami situasi yang sama, diintimidasi dengan akan diberhentikan dari pekerjaan tersebut.
Bahkan, ada peristiwa dramatis, di mana ada seorang ayah, tega mengeluarkan anak kandung dan mantunya dari dalam rumah sendiri, hanya karena sang ayah begitu mengidolakan seorang caleg, sementara tidak kepada sang anak dan mantu. Seorang ayah yang sebelumnya penyayang, tiba-tiba berubah menjadi begitu jahat.
Ketika rakyat dibuat bodoh atau dibodohi dengan iming-iming materi di satu sisi dan menebar ketakutan di sisi lain, tentu mereka akan menjadi apatis terhadap masa depan daerah yang lebih baik. Suara mereka bisa dibeli dengan harga murah, mengharapkan sesuap nasi dari para politikus, maka di saat bersamaan, secara sadar atau tidak sadar, rakyat telah diutak-atik, rakyat terbelah oleh yang tidak punya otak.
Rakyat terbelah menjadi yang waras dan setengah waras. Ada yang lemah sehingga mudah terserang politik sihir (setengah waras), ada pula yang kuat pirinsip dan teguh pendirian (waras).
Mereka yang kuat pendirian pasti tahu kalau mereka sendirilah yang akan menentukan nasib mereka. Tahu bahwa biaya hidup, harga beras, harga minyak goreng, harga gula, harga seragam sekolah, harga buku dan harga obat, biaya pendidikan, biaya tarif listrik dan seterusnya, semuanya tergantung pada keputusan politik.
Kebodohan itu diawali oleh caleg dan mentor politiknya sebagai aktor politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga membusungkan dadanya, merasa yang palig hebat, yang paling demokratis padahal sesungguhnya hanyalah topeng.
Si dungu tidak sadar dari kebodohan politiknya, tatanan kehidupan masyarakat Sula yang kental akan nilai syariat, nilai etika, nilai adab dan nilai budaya dalam filosofi “manatol (kerukunan ikatan keluarga)” terporak-poranda oleh politik sihir yang mereka mainkan.
Semangat “dad hia ted sua (bersatu bangun negeri)” harus dipupuk oleh masyarakat Sula yang masih sadar dan waras sebagai upaya menahan derasnya arus pragmatisme politik dalam ilusi kosong dan sarat narasi perpecahan. Virus politik sihir hanya bisa dipatahkan oleh kecerdasan intelektual, semua tergantung pilihan sendiri antara kebaikan atau keburukan. Kesadaran masyarakat Sula adalah nilai etik yang melekat dan tak bisa ditukar tambahkan oleh kepentingan segelitir politisi dungu. Semoga. (*)
Tinggalkan Balasan