Politik sihir terjadi di mana-mana, manakala sudah dekat waktunya. Di Kepulauan Sula sendiri, tradisi politik sihir (terutama dalam momen pemilihan anggota DPR) menjadi sesuatu yang lumrah terjadi, dan belakangan semakin menjadi-jadi.
Efek politik sihir ini telah merasuki sebagian otak masyarakat sebagai pemilih, tetapi tidak untuk sebagiannya yang telah tercerahkan akalnya dan memang selalu imun juga kebal dari pengaruh sihir.
Mereka yang tak kebal politik sihir sudah pasti dijadikan tumbal keganasan para penyihir. Mereka yang lemah dijadikan boneka oleh penyihir, yang otaknya diracuni sehingga mudah untuk diatur. Mereka yang lemah akan dilatih menyadi kuat dan pembunuh, setelah digodok dan diproteksi sesempurna mungkin, selanjutnya pasti menjadi pasukan yang siap tempur, menjadi piliharaan sementara yang siap turun kapan dibutuhkan, sayangnya, mereka yang lemah tak sadar kalau mereka ini hanya dijadikan pion dalam mengamankan kepentingan.
Pion piliharan para penyihir bisa dengan berutal membabi-buta dalam bereaksi dan bertindak. Tak sadar, kalau yang di dekatnya adalah istri, anak, ipar, paman, tetangga, keluarga dan senak saudara yang memiliki ikatan darah.
Bius politik sihir mengamputasi pengetahuan mereka yang lemah. Mendistorsi pikiran, hati, dan nurani, yang membuat mereka lupa kalau ada sesuatu yang lebih tinggi dari sekadar menjadi pion, yaitu keluarga yang di dalamnya ada nilai kasih sayang dan cinta. Lupa tradisi “manatol (tali silaturahmi)”, tradisi “poa hoi (saling bantu/kumpul keluarga)”, juga hilang adab dan etika.
Politik sihir benar-benar menggerogoti tatanan demokrasi Sula. Kegilaan manuver-manuver politik para caleg mempertegas, kalau politik sihir benar-benar menjadi ancaman serius dalam tatanan kehidupan masyarakat yang tak bisa didiami.
Yang terjadi secara umum di Sula adalah politik sihir telah menciptakan situasi kehidupan masyarakat yang menakutkan. Misalnya, ada seorang paman yang dengan mudahnya menabur ancam kepada keponakan sendiri, keponakan yang hanya bekerja sebagai pegawai honorer, harus hidup dalam bayang-bayang ketakutan antara bertahan hidup sebagai pegawai honorer atau mengikuti arahan sang paman yang dianggap salah, atau memilih diberhentikan karena teguh memegang prinsip.
Tinggalkan Balasan