Ajakannya saya penuhi, dan berbulan-bulan saya bersama beberapa kawan seperjuangan mendiami rumahnya di Cibubur itu, sebuah rumah mewah di real estate. Rupanya ia sudah sukses menaklukkan Jakarta, kata hati saya berkata demikian saat pertama kali sampai di rumah tersebut.

Selama di Cibubur, kami banyak berdiskusi ikhwal Halmahera Selatan. Ia memperlakukan kami sebagai saudaranya sendiri (sama-sama perantau). Kadang ia sendiri ke pasar, ke dapur, memasak dan kemudian mengajak kami santap bersama. Ia sempat membantu menyelesaikan biaya perkuliahan saya, bahkan sempat pula mengantarkan saya ke Bandung dengan mobil pribadinya yang mewah itu. Ia sendiri yang menyetir. Ia begitu peduli pada kawan yang melanjutkan studi di tanah Jawa, siapa saja tanpa membedakan.

Diskusi-diskusi di rumah Cibubur itu sampai pada “andai-andai” menjadi bupati, dan kami beberapa orang itu nanti ia jadikan stafnya, tetapi dalam suasana candaan. Ternyata candaan itu terwujud hari ini. Sebuah mimpi yang terpautkan pada hati yang lapang milik anak pelosok yang mampu menaklukkan ibu kota Jakarta. Hidup memang butuh perjuangan dan kita wajib menjaga ritme antara kesuksesan dan masa-masa berjuang, saat masih susah. Sehingga kita tak terbuai dengan segala kemewahan yang ada. Tidak lupa diri dan tak lupa pada yang papa.

Saat sudah menjadi bupati, ia pernah menawarkan saya untuk lanjut studi ke China. Saya menolaknya, ia keceawa. Ia juga pernah menawarkan ke NHM, saya menolak. Saya katakan kepadanya, saya jadi pengajar saja. Tapi berselang waktu ia menjadikan saya sebagai staf khususnya. Ia setia kawan, pandai menjaga hubungan. Selama menjadi staf khususnya, ia juga memperlakukan saya dan lainnya sebagai adik-adiknya. Berdiskusi, memberi arahan, memerintahkan membuat telaah dan rekomendasi, membalas surat-surat penting, menghadiri pertemuan bersamanya dan lainnya.

Ia lahir dari rahim orang pelosok. Ia pernah menjadi buruh kopra bertahun-tahun lamanya, pernah sebagai motoris pesisir, ketua pemuda di desa. Namanya familiar di daratan Gane, oleh karena ia pernah hidup dari satu desa ke desa yang lain, lalu jadi wartawan, masuk Jakarta sebagai pengusaha, dan masuk politik.

Tetapi ia juga punya naluri kemanusiaan yang tinggi. Maka jangan heran jika mengunjungi perkampugan, ia sering menyampaikan bahwa politik itu hanya jalan pengabdian. “Saya jadi bupati tidak mencari apa-apa, yang ada hanya pengabdian”.

Beberapa hari kemarin, ia memberi arahan pada saya untuk sering mewakilinya atas nama bupati.