Dalam keadaan demikian, rencana proyek investasi itu dikhususkan untuk kawasan industri, jasa/komersial, agro-pariwisata, residensial, dan energi baru dan terbarukan, yang berdiri di atas lahan 17000 hektare (Bisnis.com, 2023). Lahan seluas ini oleh pemerintah bukan hendak digusur, melainkan akan dilakukan pengosongan. Padahal substansinya sama, warga akan kehilangan tempat tinggal, sumber nafkah, dan hidup di bawah garis kemiskinan.
Karena berdasarkan keterangan pemerintah, melalui Menkopolhukam, Mahfud MD, sebagaimana dilansir CNN Indonesia (2023), menjelaskan duduk perkara terhadap hak atas tanah yang rencana dibangun, sudah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan sejak 2001-2002 dengan status hak guna usaha.
Berbeda dengan pernyataan di atas, menurut keterangan warga Rempang, nenek moyang mereka telah mendirikan kampung-kampung itu sejak 1843. Maka alasan mereka sangat logis, tidak rela tanah ulayatnya digadaikan ke investor. Sebab, ini soal muruah, warisan yang harus dijaga, terlepas dari apapun upaya pemerintah (BBC, 2023).
Masalah Hak Asasi Manusia
Di sana ada persoalan hak ekonomi, sosial dan budaya yang dilindungi oleh HAM internasional. Sebab, peristiwa di Rempang tidak hanya menimbulkan kerugian materi, lebih dari itu akan menciptakan kesenjangan, marginalisasi, dan konflik sosial yang lebih besar.
Persoalan HAM memang riskan, akhirnya strategi pemerintah untuk melakukan pengusiran paksa menggunakan diksi-diksi yang sulit dicerna oleh warga Rempang, sebagaimana telah saya singgung di atas, yaitu pengosongan bukan penggusuran. Penggunaan kata-kata ini memang bersifat politis agar pemerintah memiliki alasan yang kuat untuk menghindari tuduhan pelanggaran HAM.
Meminjam ulasan Bivitri Susanti, dalam tulisannya “Hukum untuk Siapa? (2023),” bahwa ada makna yang tersirat dalam konteks penggunaan diksi “pengosongan lahan” dan “penggusuran”, yaitu warga Rempang harus pindah karena tanah itu bukan lagi miliknya. Penggunaan terminologi pengosongan lahan ini hanya sebagai alasan untuk melegitimasi kekerasan yang dianggap sudah sesuai dengan hukum.
Padahal, pemerintah wajib melindungi martabat warga Rempang sebagai manusia sesuai prinsip atau standar hak asasi yang telah diakui bersama. Bentuk perlindungannya adalah membuat kebijakan terkait akomodasi alternatif, mulai dari tempat tinggal yang memadai dan layak untuk dihuni, hingga fasilitas-fasilitas publik yang dapat dinikmati bersama. Bukan sekadar disodorkan uang, lantas semua diam.



Tinggalkan Balasan