4. Pemberdayaan dan Perlindungan Ekonomi Kreatif:

Saat ini, tak bisa dipungkiri bahwa umumnya kenyataan yang dihadapi oleh para kreator dan pelaku usaha ekonomi kreatif adalah lemahnya daya tarik industri kreatif, kurangnya infrastruktur, lemahnya apresiasi masyarakat terhadap produk lokal, lemahnya penghargaan bagi penyedia karya cipta serta maraknya pembajakan dan plagiat, masih minimnya akses pembiayaan pada industri kreatif, dan belum memadainya standardisasi dan sertifikasi produk.

Identifikasi problem yang dihadapi oleh para pelaku ekonomi kreatif di Maluku Utara adalah sebagai berikut:

  • Produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan kurang menarik dan minim inovasi. Hal ini bisa diurutkan pada rancangan peraturan UU yang mengatur tentang pemberdayaan SDM dan perlindungan karya.

  • Biaya produksi yang tinggi karena harga bahan baku umumnya mahal. Mata rantai produksi perlu dijaga mulai dari hulu hingga ke hilir (produk jadi) sehingga harga produk dari industri kreatif bisa bersaing. Untuk itu, diperlukan rancangan payung hukum yang menaungi pemberdayaan SDM dan faktor produksi.

  • Beberapa kerajinan kriya sangat menarik, namun hasilnya tidak terjual atau tidak memiliki pasar. Dari sisi akses pasar dan pemasaran produk diperlukan aturan yang mengikat, misalnya kontrak kerja penjualan produk yang memberikan keuntungan.

  • Masalah pendanaan, adanya kreativitas namun tidak ditunjang dengan permodalan yang memadai dan bunga pembiayaan yang tinggi akan memberikan dampak buruk bagi pelaku usaha. Untuk itu diperlukan landasan hukum dalam memberikan kemudahan bagi pelaku ekonomi kreatif untuk memperoleh akses pembiayaan serta memperoleh kejelasan dalam skema pembiayaan tersebut.

  • Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan pengelolaan potensi ekonomi kreatif secara sistematis, terstruktur, dan berkelanjutan dalam bentuk peraturan daerah.

 

5. Izin Pertambangan Rakyat:

Provinsi Maluku Utara, memiliki potensi tambang mineral yang tersebar di beberapa wilayah kabupaten/kota. Berdasarkan Maluku Utara dalam angka 2023, terdapat tiga produk utama pertambangan di maluku utara, yaitu nikel, biji besi dan pasir besi, hal ini belum termasuk potensi tambang mineral batuan dan komoditas pertambangan mineral batuan yang telah lama dimanfaatkan penggaliannya oleh masyarakat hampir seluruh kabupaten/kota dalam lingkup maluku utara.

Banyaknya potensi tambang di Maluku Utara ini menyebabkan maraknya pertambangan tanpa izin (PETI), belum termasuk permasalahan izin pertambangan yang tidak mengindahkan keberadaan masyarakat adat.

Permasalahan pertambangan rakyat di provinsi maluku utara, masih menimbulkan sejumlah persoalan. Pertambangan tanpa izin memicu terjadinya konflik internal antara sesama penambang di lokasi pertambangan. Penambangan dilakukan tanpa memperhitungkan keamanan, sehingga menimbulkan dampak negatif timbulnya korban sebagai akibat terjadinya reruntuhan di dalam pertambangan.

Ditambah penggunaan zat-zat berbahaya seperti merkuri yang tidak terkontrol, mengakibatkan tercemarnya air di wilayah terdampak, dan potensial mengakibatkan terganggunya kesehatan bagi warga sekitar. Persoalan lainnya adalah timbulnya konflik pemanfaatan tanah sebagai akibat pertambangan yang dilakukan tanpa izin, sehingga menegasikan potensi penerimaan keuangan daerah dari sektor pajak dan retribusi.

Berdasarkan perspektif hukum, hal seperti ini seharusnya tidak terjadi, karena kewenangan pemberian izin pertambangan skala kecil seperti ini seharusnya menjadi kewenangan pemerintah pusat dan provinsi.

Hal sebaliknya, akses masyarakat untuk memperoleh izin pertambangan rakyat dari pemerintah daerah provinsi juga masih sulit, dikarenakan landasan hukum permohonannya belum tersedia secara memadai, seyogyanya hal ini dapat diantisipasi dengan melakukan kebijakan dalam bidang UU yang sifatnya mengikat dan mengatur melalui produk peraturan daerah.

Kebijakan yang sifatnya mengatur (regeling) dan menjadi kebijakan tetap daerah tersebut diharapkan mampu memberikan perlindungan hukum terhadap tambang rakyat yang dilakukan secara tradisional dan terbatas. Produk perundang-undangan di daerah ini pula diharapkan mampu menjadi alat kontrol melalui mekanisme perizinan, sehingga memungkinkan seluruh sumber daya tambang daerah yang dilakukan secara tradisional oleh warga masyarakat memiliki legalitas.

6. Penyelenggaraan Pesantren:

Pesantren telah menjadi pusat pembelajaran dan dakwah, yang secara sosial telah memainkan peran penting dalam menyebarkan Islam di Indonesia. Pesantren menjadi sebuah media sosialisasi formal di mana keyakinan-keyakinan, norma-norma, dan nilai-nilai Islam ditransmisikan dan ditanamkan melalui pengajaran dalam konteks provinsi maluku utara yang notabene mempunyai catatan historis tentang empat kerajaan islam.

Keberadaan pesantren sudah menjadi kenyataan sosiologis yang menyatu dalam praktik kehidupan keseharian masyarakat maluku utara yang dikenal relijius, penyelengaraan pesantren selama ini berlangsung dinamis. Secara historis, keberadaan dan keberlangsungan pesantren merupakan inisiasi, inovasi dan sekaligus bentuk partisipasi nyata masyarakat.

Pendidikan di dalam pesantren bertujuan untuk memperdalam ilmu pengetahuan al-Quran dan hadits. Selain itu dalam pesantren juga terdapat pembentukan karakter pada santri sendiri. Peserta didik tidak hanya dididik melalui transfer of knowlege tetapi juga transfer of value.

Pada titik inilah yang membedakan sistem pendidikan pondok pesantren dengan non pondok pesantren. Oleh karena itu, diperlukan sebuah peraturan daerah yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum yang kuat dan menyeluruh dalam penyelenggaraan pondok pesantren di maluku utara yang dapat memberikan rekognisi terhadap kekhasannya, sekaligus sebagai landasan hukum untuk memberikan afirmasi dan fasilitasi bagi pengembangan pondok pesantren di provinsi maluku utara.