Sebab, kebenarannya bersifat parsial, bahwa dalam suatu komunitas bisa mempercayai itu ada, dalam persaingan bisnis, jabatan, atau percintaan. Juga sebaliknya komunitas lain bisa menyakini itu tidak ada sama sekali karena irasional. Menurut Muhammad Nurddin dalam bukunya yang berjudul “Logical Fallacy”, pemikiran yang didasarkan pada menurut orang banyak tanpa data dan informasi yang faktual, itu adalah bagian dari kesalahan berpikir yang sering kita jumpai akhir-akhir ini. Di media sosial, di diskusi-diskusi kecil, di lingkungan organisasi dan lain sebagainya.
Karena maraknya misteri persoalan “santet” bangsa ini telah mengatur regulasinya, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbaru, Pasal 252 tentang praktik sihir (santet) dan menawarkan jasa untuk mencelakai orang lain akan diancaman sanksi 1,5 tahun penjara. Walau demikian, regulasi tersebut masih mengalami kontroversi dalam penerapannya.
Menurut pakar hukum dari Universitas Sumatera Utara, Dr. Pedastaren Tarigan, tidak rasional menjadikan santet sebagai delik. Walau praktik santet sering dipercaya terjadi di tengah-tengah masyarakat, tetapi untuk membuktikan siapa pelaku ataupun korbannya sangatlah sulit. Kita tidak bisa menjadikan sebagai alat bukti pengakuan seorang pelaku supranatural (dukun).
Bahwa si B sakit dan ditemukan jarum di dalam perutnya akibat disantet atau diguna-guna oleh si A. Bahkan, katanya, keterangan seorang penghayat supranatural juga tidak dapat dijadikan bukti untuk menjerat, misalnya si A melakukan perbuatan melanggar hukum untuk diajukan ke pengadilan negeri. Bahkan ancaman hukuman tersebut sulit diterapkan kepada pelaku santet atau dukun yang sengaja menyantet seseorang karena disuruh orang lain dengan imbalan berupa uang.
Tahukah anda bahwa cerita tentang dotti atau sihir telah ada di Eropa era kegelapan. Mereka sering berburu penyihir, vampir, dan manusia serigala. Dalam perburuan dan eksekusi penyihir yang dilakukan oleh banyak kerajaan Eropa abad 14. Mitos dan rumor dipakai sebagai alat untuk merajam dan membakar tersangka hidup-hidup. Tidak mudah untuk menjadi seorang yang “berbeda” di kalangan warga Eropa pada zaman kuno.
Orang yang cerdas, kutu buku dan peka sosial, dianggap sebagai penyihir. Dalam jurnal sosiologi yang ditulis pada 1980, diterbitkan berjudul “The European Witch Craze of the 14th to 17th Centuries: A Sociologist’s Perspective”. Mengungkap bahwa sejak awal abad 14 hingga abad 16, sudah ada 200 ribu hingga 500 ribu orang yang dieksekusi di Eropa karena dianggap sebagai penyihir.
Tinggalkan Balasan