Pasca reformasi politik terutama setelah dilaksanakan Pilkada langsung, fenomena intervensi terhadap tugas dan tanggung jawab kepala daerah terasa begitu fenomenal. Intervensi bisa dilakukan oleh pihak yang merasa berjasa memenangkan figur tertentu dalam konstestasi Pilkada. Partai Politik, Pengusaha, “tim sukses”, termasuk sang istri, adalah kelompok dominan yang kerap mengintervensi kebijakan kepala daerah.

Partai politik merasa berjasa dengan rekomendasinya sebagai syarat mengikuti kontestasi meskipun secarik kertas tersebut tidak diperoleh dengan gratis atau “bebas pulsa”. Pengusaha dengan dukungan finansial mulai perburuan rekomendasi hingga sidang Mahkamah Konstitusi menganggap sebagai bagian sangat vital pada momen Pilkada.

Sementara untuk melakukan sosialisasi sang figur mengorganisir dan memobilisasi masa dan kerja lapangan tim sukses lah merasa punya andil besar dan terakhir sang istri merasa berjasa karena dalam suka duka telah berjuang bersama sang figur mulai titik nol hingga mencapai karier puncak sang suami.

Meskipun intervensi politik sudah menjadi rahasia umum tetapi kajian akademik mengenai hal ini masih sangat terbatas. Dari empat komponen yang digambarkan di atas hanya intervensi yang dilakukan partai politik atau politisi dirasa sangat kental. Sjahrazad Masdar dkk dalam studi tentang pengaruh intervensi politisi terhadap kebijakan promosi di beberapa kota di Jawa Timur mengungkapkan keberadaan struktur dan prosedur formal yang seharusnya dijadikan sistem promosi pejabat struktural ternyata pada tataran empirik kerap di bypass oleh kepentingan politis dari aktor yang berkuasa. Kondisi seperti ini sulit dihindari karena di satu sisi kepala daerah sangat membutuhkan dukungan politisi dalam implemetasi kebijakannya dan sebaliknya politisi membutuhkan dukungan kepala daerah atau birokrasi yang pada tataran riil berfungsi sebagai eksekutor kebijakan publik.

Dengan pola relasi simbiose mutualisme antarpolitisi dan birokrat yang terbangun kokoh, maka institusi semacam Baperjakat ataupun Panitia Seleksi Pejabat Tinggi Pratama hanya bekerja formalistis memenuhi kewajiban normatif. Artinya Baperjakat dan panitia seleksi hanya menyodorkan calon pejabat yang memenuhi syarat obyektif sementara kepala daerah yang menentukan pejabat yang layak berdasarkan penilaian subyektifnya. Bahkan lebih miris sebelum seleksi berlangsung publik sudah memprediksi pejabat yang akan dilantik kepala daerah.