Belenggu
Pelaksanaan “Festival Barangka” yang dilakukan tahun 2021, sebagai bagian penanganan sampah, kini tak lagi terdengar. Kegiatan ini sebenarnya lebih membangun kesadaran diskursif, meminjam istilah Anthony Giddens (2014), yakni suatu kesadaran tindakan di mana aktor/masyarakat dapat mengambil jarak dari struktur (kebiasaan lama yang telah terbentuk) untuk melakukan suatu tindakan baru dengan mencari makna lain dari tindakan yang ada selama ini. Artinya, selama ini barangka menjadi tempat membuang sampah dan menjadi “halaman belakang” bagi warga. Melalui Festival Barangka diharapkan warga tak lagi membuang sampah dan menjadikannya sebagai “halaman depan”. Hanya saja Festival Barangka lebih menonjolkan sisi pencitraan Pemerintah Kota Ternate ketimbang menghitung kadar fungsionalnya. Buktinya, kegiatan itu tak lagi dikembangkan dan tak terdengar. Pada akhirnya, Festival Barangka bila meminjam istilah Jaye Nias (1972) hanyalah untuk mempertontonkan “partisipasi semu” (pseudo-participation), yakni di mana warga seolah dilibatkan dalam setiap proses pelaksanaan kebijakan, akan tetapi peran dan keterlibatan warga tidak pernah muncul dalam proses penentuan akhir kebijakan. Jadi, apa yang dilakukan Pemerintah Kota Ternate tak pernah serius, inkonsisten, dan tak dapat menjaga komitmen terhadap kelanjutan pembangunan kota.
Secara sosiologis, terdapat dua hal yang membekap penanganan sampah di Kota Ternate sehingga tidak maksimal. Adanya dominasi kultur dan dominasi struktur, yang membuat warga/aktor menjadi demikian terbelenggu. Dominasi kultur merupakan kebiasaan, kepercayaan, nilai, yang telah tertanam lama dalam alam pikiran warga, termasuk kebiasaan untuk membuang sampah secara serampangan kapan dan di mana saja. Sedangkan dominasi struktur merupakan aturan dan fisik tentang pengelolaan sampah, tetapi terjadi inkonsistensi kebijakan di lapangan. Aturan telah disiapkan, fisik tempat sampah pun disediakan, tetapi dalam proses sosial, semua itu tak ada arti apa-apa. Kasus empat ton sampah saat konser dapat dibaca dalam konteks ini.
Stigma negatif Kota Ternate sebagai kota sampah harus dibalik menjadi stigma yang lebih positif. Ini merupakan “pekerjaan” paling berat DLH. Bagaimana sampah itu mampu dikendalikan dan menjadi kekuatan agar memberikan manfaat bagi pemerintah dan masyarakat. Bukan sebaliknya menjadi tekanan yang terus menerus membelenggu masyarakat kota. Kemampuan beradaptasi dengan kebiasaan (kultur) dan struktur dalam memperlakukan sampah menjadi titik perhatian. Pihak DLH perlu memahami komposisi dan asal usul sumber sampah. Disinilah, diperlukan penentuan indikator kinerja kunci pengelolaan sampah. Gerak cepat dalam menangani sampah menjadi penentu kualitas dan kualifikasi aparatus DLH Kota Ternate. (*)
Tinggalkan Balasan