Tidak kalah penting lainnya adalah korupsi di kalangan swasta. Berdasarkan rilis Databox (2022), selama 2021 terdapat 30 tersangka dari kalangan swasta. Kemudian fakta lain yang tidak kalah mengejutkan adalah korupsi di tubuh kekuasaan yudikatif. Data KPK (2010-2022) yang dirilis dari sumber yang sama mencatat sebanyak 21 hakim pernah tertangkap melakukan tindak pidana korupsi.
Catatan di atas bukan lagi rahasia, karena para penguasa di semua aspek menganut prinsip corruption by greed. Istilah ini layak dialamatkan kepada sejumlah pejabat yang telah memiliki kekayaan yang memadai, tetapi serakah dan berpeluang untuk melakukan tindakan yang merugikan negara. Kenyataan ini terus berulang dalam setiap rezim. Bahkan tidak akan berubah dalam spektrum demokrasi kita. Sistem elektoral justru tidak diarahkan pada ranah perbaikan untuk memproduksi kekuasaan yang baik, melainkan merawat ”kejahatan kekuasaan”. 2024, hal itu akan terulang, tetap buruk hasilnya.
Lihat saja nanti, semua akan terulang. Pengentasan kemiskinan, penyetopan perusakan lingkungan, pemberantasan korupsi, dan revitalisasi hak asasi setiap warga negara, sebagaimana saya sebutkan di atas hanya akan menjadi agenda kampanye semata. Tidak ada kesejahteraan publik. Peluang korupsi makin besar. Kebohongan penguasa dapat dianggap kewajaran dalam politik. Banyak orang mendadak saleh datang dari partai politik berkhutbah menipu rakyat. Kerusakan lingkungan tidak disetop dengan dalih pembangunan. (*)
Tinggalkan Balasan