Fakta semacam ini pernah disinggung oleh Eamonn Butler dalam bukunya Kapitalisme: Modal, Kepemilikan, dan Pasar yang Menciptakan Kesejahteraan Dunia (2018), bahwa masuknya kronisme dalam kekuasaan memungkinkan negara memudahkan jalan terjadinya korupsi. Mereka memperoleh kekuasaan secara gampang dengan status dan keistimewaan dalam kehidupan sosial, sehingga segala gebrakan politiknya tidak menempuh jalan terjal.

Pada titik ini, sesungguhnya tidak ada yang menggembirakan walau datang kekuasaan berganti. Toh, wajah kekuasaan semua tampak berpura-pura. Tidak ada pikiran baru. Menjelang 2024, kekuasaan bisa saja berganti akibat kekuatan faksi-faksi politik dan segenap pengaruhnya. Pun dengan kekuasaan saat ini, dapat berlanjut karena pemetaan politik sudah terancang matang.

Akan tetapi, pengelolaan kekuasaan masih akan tetap mengalami disorientasi. Banyak pemimpin di setiap tingkatan, pada kenyataannya tidak mampu mengurai kompleksitas, tidak tahu melakukan apa. Malah hanya pencitraan semata yang disuguhkan untuk meraih kekuasaan, sekaligus menjadi reinvestasi modal untuk meraup keuntungan dalam jumlah besar.

Hasilnya Tetap Buruk

Setidaknya 22 Gubernur dan 154 Bupati/Walikota di Indonesia sepanjang 2004-2022 terjerat korupsi. Secara terpisah, jumlah ini belum terhitung dengan skandalnya para anggota DPRD. Pada periode yang sama, sebanyak 310 orang juga setali tiga uang.

Sementara selama 2014-2019, periode ini juga terbilang suram. Data yang dihimpun CNN Indonesia (2019), tercatat 24 anggota DPR RI ditetapkan jadi tersangka korupsi. Kemudian di tubuh kabinet menurut penelusuran Kompas.com terhitung sejak 2003 KPK telah menetapkan 12 Menteri sebagai tersangka. 12 menteri ini secara rinci terdiri dari 4 orang menteri pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, 6 menteri era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan 3 menteri era Presiden Joko Widodo.