Perbuatan memposting/cuitan pada akun Twitter atas nama Faizal Assegaf, sambung Al Walid, diduga melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Perlu kami tegaskan LBH Ansor pada prinsipnya menjunjung tinggi kebebasan berpendapat dan menghargai pendapat orang lain. Hanya saja jika pendapat itu menghancurkan martabat orang lain maka tindakan tersebut sangat bertentangan dengan budaya nusantara di Indonesia yang sangat mengedepankan adab dan sopan santun,” ujarnya.
“LBH Ansor juga mengedepankan proses-proses penyelesaian masalah dengan pendekatan kekeluargaan, namun saja perbuatan Faizal Assegaf ini bukanlah perbuatan yang pertama kalinya, ini adalah perbuatan yang kesekian kalinya. Padahal sebelumnya perbuatan yang dilakukan oleh Faisal Assagaf telah kami selesaikan secara kekeluargaan dengan permintaan maaf oleh Faizal Assegaf dengan harapan bahwa tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Namun ternyata saudara Faizal Assegaf justru mengulangi perbuatan yang sama. Oleh sebab itu, karena perbuatan yang dilakukan oleh Faizal Assegaf dilakukan kembali, maka kami memilih menempuh jalur hukum pidana yang disediakan,” tegas Al Walid.
Menurutnya, LBH Ansor sepakat proses pidana adalah upaya terakhir dalam penyelesaian suatu persoalan hukum (Ultimum Remedium). Upaya hukum pidana ini ditempuh setelah Terlapor-Teradu telah dengan sengaja mengulangi perbuatan yang secara hukum jelas-jelas dilarang.
Laporan polisi ini juga merupakan bentuk pembelajaran kepada publik bahwa dalam mengeluarkan pendapat dengan ujaran kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum positif dan bertentangan dengan budaya Nusantara.
Tinggalkan Balasan