“Tentu ini menjadi sebuah acuan penting bagi kita semua untuk memperhitungkan kembali proyek-proyek pembangkit ketenagalistrikan semacam itu jangan lagi ada di bumi Halmahera Barat,” tegasnya.
“Ditambah lagi dengan sikap pemerintah Halmahera Barat yang tidak melakukan perundingan maupun sosialisasi tentang dampak dari bahaya PLTPB di delapan desa, yakni Idam Gamsungi, Idamdehe, Bobo, Bobo Jiko, Sari, Payo Tengah dan Payo Induk,” cecar Sahrir.
Proses pembangunan geothermal di Halmahera Barat, dia berkata, bakal mengancam sektor pertanian milik masyarakat setempat.
“Bahkan mengancam ekosistem laut. Kami butuh (kontribusi) yang real. Kontribusinya seperti apa? Manfaatnya itu apa bagi kami dengan pemanfaatan sumber daya alam yang kami warga delapan desa di Halmahera Barat miliki?” ungkap Sahrir.
“Sebagaimana yang diketahui bahwa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, maka kami akan terus menolak dan akan terus mengawal karna kami tak mau suara tangis dan keluh kesah warga delapan desa sama dengan warga di berbagai daerah yang mengeluhkan dampak yang dirasakan setelah ada pembangunan pembangkit panas bumi skala besar di sekitar ruang hidup mereka. Ada cerita dari warga Sumatera Utara, Banten, Sumatera Barat sampai Nusa Tenggara Timur, mengingat perihal AMDAL dari perusahaan yang belum diberikan kepada Pemda Halbar, anggota DPRD dan masyarakat di lingkungan perusahaan,” tandasnya.
Tinggalkan Balasan