Ketiga, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjelaskan, selama periode 2005 sampai 2020, ACT telah menerima dana amal sebesar Rp 1,7 triliun. Besaran 50% dari jumlah itu sengaja masuk pada beberapa entitas terafiliasi untuk kepentingan pribadi (Kompas, 26/7/2022).

Enititas penerima dana dari ACT terindikasi merupakan perusahaan yang dibentuk Yayasan ACT. Perusahaan itu berjumlah 10, bergerak di bidang keuangan, retail, logistik, dan periklanan. Association of Certification Fraud Examinares (ACFE) dalam Global Fraud Study 2020 menerangkan model fraud yang dipraktikkan beberapa entitas. Salah satunya, dengan mendirikan atau menjadikan suatu entitas untuk membantu “mengelola” dana yang bersumber dari praktik manipulasi (fraud). Entitas itu hanya sebagai cangkang, agar uang yang berasal dari praktik buruk menghasilkan keuntungan yang patuh dan pantas.

Dari kasus ACT di atas, tentunya dapat menjadikan pegalaman untuk mengevaluasi potensi praktik manipulasi pada organisasi filantropi. Karena itu, pihak regulator perlu menyusun regulasi yang efektif untuk mengatur perilaku buruk manipulasi yang cenderung mengambil keuntungan pribadi dari dana amal. Karena itu, penulis perlu menawarkan beberapa praktik baik untuk organisasi filantropi.

Praktik Baik untuk Entitas Nirlaba

ACT memiliki visi “membangun organisasi kemanusiaan global yang profesional berbasis kedermawanan dan kerelawanan masyarakat global, untuk mewujudkan peradaban dunia yang lebih baik”. Dengan jaringan perwakilan di 22 negara menunjukkan jejaring ACT sangat luas. Jumlah jaringan yang banyak juga menunjukkan sumber daya manusia cukup profesional untuk menyelenggarakan aktivitas sosial di pelbagai belahan dunia.

Gerakan amal menjadi pemicu beroperasinya lembaga filantropi seperti ACT. Gerakan itu merupakan kesadaran kolektif masyarakat dan entitas untuk menjaga perdaban manusia lebih harmonis. Sikap dermawan mendorong orang dan entitas memberikan bantuan. Itulah sifat altruistik yang sejatinya dimiliki setiap orang.
Sifat altruistik yang terwujud dalam sikap dermawan mestinya tidak saja muncul dari donatur. Sikap dermawan juga melekat pada para pendiri dan pengurus lembaga filantropi. Mereka memiliki harapan untuk mendedikasikan rasa simpati dan tindakan menjadi relawan mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan dunia. Sebagaimana tercermin dari visi ACT.

Dengan kapitalisasi dana amal yang relatif besar, membuat ada godaan untuk berperilaku menyimpang. Sehingga, visi yang telah dirumuskan hanya sekadar “penghias dinding”. Belajar dari kasus ACT, setiap lembaga filantropi wajib memenuhi perjanjian dengan donatur, untuk itu ada tiga persyaratan penting yang harus dipenuhi.