Persentase penduduk miskin secara umum juga menampakkan jejak yang sama. Angkanya jauh lebih tinggi. Sejak tahun 2014 mencapai 11,25%, kemudian menurun gradual hingga 9,31% di tahun 2019, dan meningkat kembali hingga level 10,14% pada tahun 2021. Salah satu peyebabnya diduga sebagai efek pandemi Covid-19.
Dugaan seperti ini logis kalau dilihat dari perspektif dampak kemiskinan akibat efek struktural. Namun penyebab kemiskinan secara general bersifat multidimensi. Faktor natural, kultural, atau perbedaan geografis juga menjadi trigger yang tidak bisa dinafikan. Apalagi jika terjadi deviasi pengelolaan SDA yang kontrapoduktif dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hal ini bisa memperparah tingkat kemiskinan.
Klaim ambisius pemerintah untuk menurunkan kemiskinan nasional hingga “zero persen” di tahun 2024 nampak bisa pupus. Meskipun melalui sejumlah program pengentasan kemiskinan yang anggap efektif. Limit waktu yang tersisa sangat pendek, hanya tinggal dua tahun. Sementara karakteristik kemiskinan antar daerah beragam, atau tidak identik penyebabnya.
Ekspektasi ini merujuk pada hasil simulasi TNP2K dan Badan Pembangunan Nasional (https://tirto.id/). Disimpulkan bahwa masih perlu kolaborasi dan kerja extraordinary untuk menghapus kemiskinan ekstrem hingga zero persen di tahun 2024 nanti.
Selain karena rata-rata angka kemiskinan ekstrem pada 2024 diperkirakan hanya berkisar antara 2,6 dan 3,1% (setara 7,2 – 8,6 juta jiwa), juga angkanya hanya dapat turun hingga 0,8%. Itu pun jika ada upaya percepatan dan intervensi pemerintah.
Paradoks Kemiskinan Daerah Tambang
Kutukan SDA merupakan sebuah fenomena paradoksal yang nyaris tidak bisa dinafikan secara faktual. Dua daerah penghasil sumberdaya tambang terkemuka di Indonesia, yakni Papua dan Papua Barat adalah provinsi yang termasuk dalam zona 7 provinsi berkategori miskin ekstrem. Lima provinsi lainnya adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Maluku dan NTT (https://nasional.sindonews.com/).
Tinggalkan Balasan