Meskipun dua tahun terakhir hingga kini sepintas terkesan geliat intelektualitas di Djarod mengalami kemunduran dihantam wabah Covid-19, warung kopi itu sukses menyediakan ruang bagi perjumpaan para aktor dari berbagai latar belakang pendidikan dan profesi, perjumpaan dan interaksi ide-ide di antara mereka, betapapun hal itu tidak dalam artian “seketat akademik”. Pembentukan kebiasaan berdialog secara rasional di antara berbagai aktor dengan beragam latar merupakan titik kemajuan sebuah kota yang patut diapresiasi. Saya terpikir, karena itu, Djarod bahkan lebih kondusif dimana orang-orang secara “bebas” berbagi pengetahuan dan pengalaman secara dialogis, tanpa disekat oleh struktur dominasi tertentu, dibandingkan suasana sebuah kampus perguruan tinggi yang secara paradoksal malah menjadi “kuburan bagi akademi” itu sendiri. Di sana, di Djarod, kerapkali saya bertemu dengan beberapa atau sejumlah anak muda yang datang dari latar belakang mahasiswa dan dari beragam perguruan tinggi di Ternate, maupun dari latar beragam organisasi kepemudaan ekstra kampus. Elemen-elemen civil society ini seringkali menggelar diskusi dan disesaki para pesertanya.
Demikianlah seharusnya sebuah kota, yang tak hanya sebuah “city”, tapi juga sebuah “urban”. Kata yang terakhir ini lebih menunjuk pada suasana mental dan keadaban yang luas dari warga kota sehingga kota dikenal sebagai pusat tumbuh kembang dan berkecambahnya peradaban manusia. Jadi, sekurangnya, Djarod menyumbang pada geliat kembangnya pertukaran informasi, pengetahuan dan pengalaman di antara warga kota melalui ruang publik kafe. Ciri ini pula yang melekat pada sebuah kafe, dalam sejarah lahirnya di Eropa seperti Kota London, Inggris. Tetapi setelah tumbuh kembangnya kebiasaan yang dekat kepada ilmu pengetahuan, karakter cendekia atau intelektual ini, Ali malah pulang selamanya. Kepulangannya tepat pada hari Jum’at, 20 Mei 2022, tanggal dimana Indonesia memperingatinya sebagai tanggal Kebangkitan Nasional. Barangkali, sesuai rencana Tuhan, Ali datang dan membangkit-suburkan geliat intelektualitas di Kota Ternate, lalu dia pergi, pulang kepada Kekasih- NYA, tepat di hari kebangkitan nasional. Saya tak punya kuasa di kota ini, Ternate, sehingga saya tak bisa memberi penghargaan dan penghormatan yang “lebih”, kecuali hanya dalam bentuk; menghaturkan banyak Terima Kasih atas segala kebaikanmu. Selamat jalan, Ali. Disediakan tempatmu di surga oleh Allah SWT dengan Rahman dan Rahim-NYA. Amiin. (*)
Tinggalkan Balasan