Di lapangan, kata Maikel Primus Peuki, perempuan dan anak adalah kelompok rentan dari pembukaan lahan perkebunan sawit. Selain itu, Konflik horizontal terjadi antara masyarakat adat dengan masyarakat adat, masyarakat adat dengan perusahaan, dan masyarakat adat dengan pemerintah. “Perampasan lahan masyarakat adat terjadi karena tidak ada transparansi dengan mekanisme FPIC yang kredibel. Misalnya masyarakat adat Kapitiauw tidak mengetahui tanah ulayat mereka dilepaskan dan masuk dalam areal konsesi perusahaan sawit,” ungkapnya.

Ekspansi Proyek Infrastruktur di Pesisir dan Taman Hutan Raya Mangrove Bali

Pada 31 Januari 2022, Kementerian PUPR melakukan penataan mangrove yang berada di kawasan Tahura dan ditargetkan kelar seluruhnya pada September 2022 sehingga dapat digunakan sebagai showcase mangrove di KTT G20. Menanggapi hal tersebut, Direktur WALHI Bali, Made Krisna “Bokis” Dinata, S.Pd menyampaikan bahwa ajang showcase mangrove di KTT G20 tersebut, menguji keseriusan Pemerintah dalam menjaga mangrove tahura. Karena, menurut Bokis, di balik showcase mangrove untuk KTT G20 tersebut, masih ada permasalahan yang mengancam mangrove di Tahura Ngurah Rai, seperti Perpres 51/2014 yang sampai saat ini masih mengancam Teluk Benoa untuk direklamasi. “Sampai saat ini Perpres 51/2014 yang menjadi instrumen hukum untuk mereklamasi Teluk Benoa masih berlaku,” ujarnya.

Bokis juga menegaskan, dalam perhelatan internasional tersebut, selain memastikan Mangrove di Tahura Ngurah Rai tersebut bersih dari sampah, Pemerintah juga seharusnya memastikan Tahura Ngurah Rai bersih dari izin-izin yang berpotensi merusak kelestarian Mangrove di tahura, dengan cara mencabut Perpres 51/2014 dan kembali menetapkan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi. Jika hal tersebut dilakukan Pemerintah, maka pemerintah layak menampilkan mangrove dalam perhelatan G20.

“Tindakan itu menjadi tolak ukur apakah pemerintah serius untuk melindungi Mangrove Tahura,” tandasnya.

Walhi Bali menemukan bahwa hutan mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai mengalami penyusutan seluas 62 hektare. Walhi Bali juga mempertanyakan apa penyebab penyusutan tersebut yang dimana hal tersebut terkuak dalam konsultasi publik terkait penataan blok Tahura Ngurah Rai yang digelar oleh Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali pada 23 Agustus 2021 lalu.

“Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan karena dari masa ke masa area Tahura terus menyusut. Pada saat ditetapkan, Tahura luasnya 1.203,55 hektare sekarang tersisa 1.141,41 hektare,” ungkap Direktur Eksekutif Walhi Bali, Made Krisna Bokis Dinata.

Reklamasi pengembangan Pelabuhan Benoa yang dilakukan oleh PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) III telah menyebabkan kerusakan alam, yaitu matinya kawasan hutan bakau (mangrove) di sekitar daerah tersebut seluas 17 Hektar.

“Sampai detik ini tidak ada langkah konkret dari pemerintah Bali untuk memperbaiki mangrove yang rusak” tegasnya.

Tak lupa juga kami WALHI Bali turut bersolidaritas terhadap apa yang menimpa Teluk Bima dan masyarakat yang disekitarnya akibat pencemaran limbah minyak. Kejadian tersebut justru memperparah dan menambah deretan kerusakan pesisir dan menambah fakta jika pesisir kita dalam keadaan yang terancam.

“Tidak hanya oleh pembangunan yang eksploitatif terhadap alam yang mendegradasi kualitas lingkungan akibat merubah bentang alam, namun dari aktivitas perusahaan yang teledor dalam beroperasi dan mengancam hajat hidup orang banyak” imbuhnya.