“Ini sudah sangat menyusahkan dan berdampak negatif ribuan masyarakat khususnya para nelayan dan daya dukung alam,” tegasnya.
Umbu menambahkan praktek pencemaran pesisir dan laut di NTT berpotensi makin menggila ke depannya, dengan masuk investasi pariwisata skala besar, industri monokultur tambang.
“WALHI NTT meyakini dengan kondisi NTT yang belum punya kebijakan pengelolaan ramah lingkungan maka investasi-investasi itu akan memperparah kondisi di NTT. Soal sampah industri saja mungkin sudah jutaan ton mencemari perairan di NTT. Sampai sekarang NTT bahkan belum miliki kebijakan pengurangan sampah secara massif,” terang Umbu Wulang.
Penghancuran Pulau-pulau Kecil di Maluku Utara
Direktur Walhi Maluku Utara Faizal Ratuela mengecam kejadian pencemaran yang terjadi di teluk Bima. Peristiwa ini sangat berdampak buruk bagi warga 4 desa yang bermukim di wilayah pesisir barat dan pesisir timur teluk Bima terutama dampak bagi nelayan. Pemanfaatan potensi perikanan di wilayah pesisir teluk Bima oleh masyarakat di wilayah terdampak limbah dipastikan lumpuh total dan nelayan mengalami kerugian ekonomi akibat dari dampak ekologi dan ekonomi. Untuk itu Pemerintah NTB harus segera memastikan upaya pemulihan ekonomi dan ekologi serta menindak tegas para pihak yang menyebabkan pencemaran di teluk Bima.
Walhi Maluku Utara mendukung sepenuhnya dan solidaritas kepada seluruh nelayan 4 desa di pesisir barat dan pesisir timur teluk Bima yang saat ini merasakan dampak pencemaran limbah.
Peristiwa yang terjadi di teluk Bima menjadi bukti bahwa kondisi perairan di Indonesia khususnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sedang dalam bahaya. negara masih meletakkan pesisir laut sebagai bagian terpisah antara daratan dan laut sehingga dalam upaya penguasaan dan pengelolaan dalam konteks pemberian izin investasi tidak mempertimbangkan dampak yang terjadi dari hulu ke hilir.
Kondisi yang terjadi di Bima juga terjadi di Maluku Utara, dimana provinsi Maluku Utara yang Maluku Utara yang merupakan salah satu Provinsi kepulauan di Indonesia dengan luas wilayah 145.801,1 Km2 dengan luas daratan 45.069,66 Km2 (23,72 %) dan luas perairan-nya 100.731,44 Km2 (76,28%) telah dihuni oleh investasi pertambangan, perkebunan monokultur sawit dan industri kehutanan yang yang berakibat penurunan kualitas lingkungan di pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara.
Jika model kebijakan pembangunan ekonomi dan infrastruktur yang masih meletakkan investasi sebagai lokomotif pendapatan ekonomi tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup terutama pesisir dan pulau-pulau kecil di Maluku Utara, maka dipastikan masyarakat dan pemerintah provinsi Maluku Utara akan menanggung beban kehancuran ekologi secara masif dan biaya pemulihan ekologi dipastikan sangat besar yang harus ditanggung akibat kesalahan pemerintah.
Deforestasi hutan Papua dan Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit
Sepanjang dua dekade terakhir, tutupan hutan alam Papua mengalami penurunan yang sangat signifikan seluas 663.443 hektar. WALHI Papua mencatat, setiap tahun rata-rata hutan alam Papua hilang seluas 34.918 hektar. Angka deforestasi tertinggi terjadi pada 2015 yang menghilangkan 89.881 hektar.
Berdasarkan riset lapangan kurun Mei – Oktober 2019, diduga limbah sawit mencemari sungai Porowai dan Manguwaho di Kaptiau. Direktur WALHI Papua, Maikel Primus Peuki mengatakan, berdasarkan hasil uji sampel menunjukkan nilai indeks pencemaran air di Sungai Maguwaho adalah 12,63 atau dikategorikan tercemar sedang skala tiga. Sedangkan air Sungai Porowai diperoleh nilai indeks pencemarannya dikategorikan cemar skala empat.
Tinggalkan Balasan