Tandaseru — Pria setengah abad itu tampak telaten melayani pelanggannya. Orang-orang yang memperbaiki sepatu yang robek, atau sekadar memperkuat jahitan sepatunya.

Tempat kerja Pakde Aim (52 tahun), si tukang sol sepatu itu, hanya berupa atap terpal sempit yang dipasang di emperan rumah warga. Tepat di perempatan Tugu Bintang Desa Darame, Kecamatan Morotai Selatan, Pulau Morotai, Maluku Utara.

Di sudut sempit itulah pria asal Desa Mekarluyu, Kecamatan Sukawening, Kabupaten Garut, Jawa Barat, itu melayani pelanggan-pelanggannya. Satu per satu sepatu dilem dan dijahit dengan tekun. Biasanya pelanggan akan meninggalkan sepatu beberapa jam sebelum diambil. Ada pula yang baru kembali esok harinya.

Menjahit sepatu sudah menjadi pekerjaan Pakde Aim sejak usianya 18 tahun. Ia bahkan sudah melanglang buana hingga Kota Batam di Kepulauan Riau, Jakarta, Manado, hingga berakhir di Pulau Morotai. Setelah menikah dan punya anak, Pak Aim makin tak bisa berdiam di kampung. Ia merantau dan merantau demi menghidupi keluarganya.

Pada tahun 2013 Pak Aim hijrah ke Morotai, salah satu daerah perbatasan utara Indonesia. Morotai awalnya begitu asing baginya. Ia bahkan baru tahu letak Morotai dari peta.

“Tapi demi lima anak ya mau nggak mau harus merantau. Istri saya di kampung, jadi kuli kebun,” ungkapnya pada tandaseru.com, Minggu (24/4).

Di Morotai, awalnya Pakde Aim keliling dari desa ke desa menjahitkan sepatu. Wadah berisi peralatannya dipikul di pundaknya. Sampai-sampai ia pernah harus tidur di masjid.

“Saya jahit sepatu keliling di desa-desa pakai pikul sol sepatu. Waktu itu saya tidur di Masjid Daruba Pantai. Itu pengalaman pahit tapi tetap semangat,” kisahnya.

Menurutnya, pendapatannya hanya cukup untuk makan sekeluarga. Saat masih berkeliling, paling banyak pria tamatan SD ini mendapatkan 10 pasang sepatu.

“Tapi jarang dapat sebanyak itu. Harga jahit per sepatu Rp 25 ribu,” tuturnya.

Tahun lalu, Pakde Aim minta izin salah satu pemilik rumah untuk membangun tempat kerja menjahit sepatu. Gubuk tempatnya bekerja itu menghabiskan uang hingga Rp 700 ribu.

“Saya buat gubuk di sini sudah minta izin di pemilik rumah ini, biar pun di pojok-pojok bermanfaat, dan mulai beraktifitas dari jam 7 pagi sampai mau salat Magrib baru pulang ke kosan,” katanya.

Masa paling ramai pelanggan adalah malam sebelum lebaran, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Pak Aim pun biasanya melayani pelanggan hingga malam hari, sebelum kembali ke kamar kosnya.

“Baru bisa ramai (malam lebaran). Kadang 30 sampai 40 pasang sepatu, dari pagi sampai malam bisa Rp 1 juta,” ujarnya.

Pandemi Covid-19 ikut menghantam bisnis Pakde Aim. Pelanggannya amat sepi.