Kepolisian tidak dapat membubarkan pengunjuk rasa dengan brutal tanpa alasan yang jelas dengan gas air mata dan kekerasan, sebab penggunaan kekuatan kepolisian harus berdasar pada tingkat dan eskalasi ancaman sebagaimana dimaksud dalam Perkap 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

“Kekerasan yang terus berulang dalam penanganan demonstrasi merupakan bentuk gagalnya Polri dalam melakukan reformasi institusi. Presisi sebagaimana misi dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit hanya lip service yang belum terlihat nyata praktiknya di lapangan. Aksi demonstrasi seharusnya dijawab dengan narasi dan terakomodirnya tuntutan, bukan justru represi dari aparat kepolisian,” ujar Rivanlee.

KontraS pun mendesak Polda Maluku Utara mengusut anggota kepolisian yang bertindak represif di lapangan pada aksi penolakan kenaikan BBM di Ternate pada 18 April 2022 kemarin.

“Selain itu, Polda Maluku Utara juga harus mendesak Polres Ternate untuk membebaskan seluruh mahasiswa yang ditangkap secara sewenang-wenang,” tandas Rivanlee.