“Tapi itu bukan masalahnya. Yang ditanyakan kenapa harga di tingkat pengecer naik gila-gilaan? Seolah-olah bersentuhan langsung dengan perubahan tarif subsidi. Faktanya, harga Pertalite bertahan. Ini bukan soal salah konsumen yang tak mau repot-repot antre di SPBU, atau pembayaran jasa pihak ketiga dengan tarif yang mahal, tapi ini tentang keuntungan dari harga jual yang tak masuk akal. Jelas ini dinamika dagang yang tidak sehat. Sederhananya, kalau ada jerigen yang dilayani khusus berarti ada indikasi main mata di situ. Akhirnya Pertalite malah menjadi bahan bakar eksklusif, tidak semua depot menjualnya,” bebernya.
Ia menambahkan, kalaupun harga BBM meroket, artinya peran pihak ketiga cukup besar. Sebab mereka mampu menembus kebijakan larangan menjual BBM ke pengguna jerigen, dan itu berarti petugas SPBU bermain.

“Anehnya, Pemerintah Kota Kernate mengaku tidak berwenang mengintervensi harga di tingkat pengecer. Bahasa sederhananya kalau tidak dibilang tak berdaya ya malas. Padahal izin dagang ada di pemerintah, kenapa tidak bentuk satgas BBM, apa tugasnya polisi? Jaga kantor menunggu laporan? Atau kita harus terbang ke Jakarta mengadu ke Ahok atau Menteri Perdagangan? Pada akhirnya sesama akar rumput saling membantu, karena pemerintah sendiri juga lepas tangan,” tegasnya.
“Maka bapak, ibu, saudara-saudara, aksi menolak kenaikan BBM, kelangkaan minyak goreng, mahalnya harga sembako, dan lain-lain butuh kerja sama untuk menyuarakan. Rakyat pekerja, sopir angkot, nelayan, ibu-ibu, pedagang kaki lima, sama-sama ditikam oleh kebijakan yang tidak ada keadilannya,” tandasnya.
Mafia BBM
Sementara di Kepulauan Sula, ratusan mahasiswa dan masyarakat menggelar unjuk rasa serupa. Unjuk rasa di depan Mapolres Kepulauan Sula tersebut akan dilanjutkan di Sentra Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) juga.
Tinggalkan Balasan