Tandaseru — Kelompok nelayan fair trade di Ternate, Maluku Utara, mengajak istirahat sehari menangkap ikan untuk memberikan waktu ikan bertelur dan berkembangbiak.

Hal ini terungkap dalam peringatan Hari Perikanan Sedunia (World Fisheries Day) 2021 yang dihelat sederhana di Kantor Lurah Jambula, Jumat (19/11).

Dari data-data yang dihimpun Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI), ukuran ikan tuna yang berhasil ditangkap sudah makin kecil dan nelayan makin jauh menangkap. Alhasil, waktu yang diperlukan melaut makin lama dan biaya bahan bakar membengkak. Inilah tanda-tanda dari menurunnya hasil tangkapan yang perlu diwaspadai oleh nelayan-nelayan kecil yang memiliki keterbatasan dibanding kapal besar.

Gafur Kaboli, nelayan champion kelompok fair trade Marimoi di Jambula menjelaskan situasi perikanan ini di depan nelayan-nelayan lain yang hadir. Data perikanan tuna IFish MDPI 2014 di WPP 714 dan 715 panjang tuna masih besar. Ukuran 150-170 cm yang tertangkap nelayan masih banyak. Tapi pada 2020, sebaliknya. Kebanyakan kecil.

Gafur, salah satu nelayan champion di Ternate menjelaskan kenapa perikanan tuna harus berkelanjutan. (Istimewa)

“Ada apa? Laut bermasalah? Ikan bermigrasi dan penangkapan berlebih,” ujar Gafur yang anggota kelompoknya 25 orang ini. 

Karena nelayan sangat tergantung pada laut, untuk menjamin dapat ikan harus mengikuti caranya. Penangkapan harus ramah lingkungan, tidak mengganggu satwa yang dilindungi seperti lumba-lumba, penyu, dan hiu, tidak membuang sampah di laut, dan mematuhi prinsip perikanan berkelanjutan lainnya.

Banyaknya kapal besar diakui makin mengurangi tangkapan nelayan kecil. Namun ada juga penyebab lain seperti pengeboman ikan mengakibatkan terumbu karang yang jadi rumah ikan hancur.