“Kami yang tergabung dalam beberapa komunitas telah membuktikan di mata dunia bahwa Tidore punya sejarah dan kebudayaan yang melimpah. Maka dari itu perlu kiranya kami menggagas bersama hingga sampai pada satu pencapaian akhir dari hasil produksi film tersebut,” imbuh Nurhadi.

Cukup banyak hal yang harus dihadapi kru saat membuat film tersebut. Riset dilakukan lebih dulu sebelum proses syuting dimulai.

“Kami harus menginap di Gurabunga seminggu lebih, karena harus mempelajari tradisi dan budaya di kampung tersebut,” kisah Nurhadi.

“Kami sangat puas dengan hasilnya, namun bukan berarti sampai di sini saja berkarya. Ke depan kami akan tetap berkolaborasi untuk membuat film yang lebih baik lagi, khususnya memperkenalkan Tidore dengan karya-karya lebih gila lagi,” tutur videografer yang pernah bekerja sama dengan WWF Indonesia di NTT ini.

Sementara Faisal Tan, musikus scoring dalam film Akesou menjelaskan, di dalam film music scoring sangat dibutuhkan, karena emosi bahkan visual gambar dapat tersampaikan dengan baik kepada penonton lewat musik.

“Ini juga pengalaman pertama saya,” ujarnya.

Tantangan terberat dalam film ini, akunya, adalah pada bagian menyambung musik dan bunyinya. Faisal harus memilah satu per satu instrumennya baru kemudian menghubungkan dengan visual gambar. Ini bukan pekerjaan mudah, karena di dalam film menggunakan musik yang tidak sekadar copy paste.

“Tapi harus ciptakan musi instrumen tersebut. Intinya semua dalam film ini perlu penghayatan agar penonton bisa menikmatinya. Tidak mudah, namun banyak pengalaman yang bisa saya dapatkan,” ungkap lulusan Jogja Audio School (JAS) ini.

Film Akesou menunjuk Haji Abdullah sebagai pemeran utama. Aslinya, Abdullah merupakan pemimpin adat Sowohi Mahifa.