Sayangnya, Pemerintah Daerah belum menunjukkan minat yang sama. Pada 2016 lalu, Bandari pernah berkoordinasi soal ancaman punahnya tide-tide namun tak ada tanggapan menggembirakan dari Pemda.
“Jadi dari tahun-tahun sebelumnya sudah berkoordinasi deng pihak pemerintah terkait, bagaimana cara untuk memulihkan kembali adat tradisional tide-tide ini. Itu kami sudah lakukan pendekatan dengan Pemerintah Daerah cuma sampai hari ini belum ada realisasi. Kami usulan sejak 2016 tapi tidak ditanggapi. Perlengkapan adat tradisional sampai hari ini tidak dianggarkan,” ungkapnya.
Alhasil, Dewan Adat Wewemo bergerak sendiri merestorasi alat musik tradisional tide-tide.
“Alat fiol, tifa, gong dan alat pengeras fiol, tapi belum sepenuhnya ada. Karena kami dari unsur adat masih punya kendala dengan anggaran sehingga kami sudah berkoordinasi dengan pihak Pemerintah Desa untuk mendukung langkah kepala-kepala adat supaya ada pemulihan alat-alat tradisional maupun alat musiknya,” terang Bandari.
Para sesepuh juga dilibatkan dalam diskusi penanganan ancaman kepunahan kesenian tersebut.
“Saya juga berkoordinasi dengan orang tua-tua atau masyarakat desa ini, karena saya merasa sangat kehilangan sesuatu seperti tifa, fiol, tidak dilihat lagi oleh orang atau grup adat yang pukul tifa tide-tide. Sebagaimana adat itu dulu dipakai untuk menguatkan kitorang punya silaturahmi,” ucapnya.
Bandari berharap, tak hanya Dewan Adat, anak muda juga harus menaruh perhatian terhadap masa depan kesenian daerah. Salah satunya adalah tide-tide.
“Termasuk juga adat cakalele, sisi dan cuci kaki tong punya modoka itu. Yang jelas torang di sini menginginkan agar adat budaya jangan sampai hilang,” akunya.
“Kami mengharapkan kepada Pemda maupun Pemdes juga, barangkali bisa melihat apa kebutuhan kami. Mungkin kami sudah pernah usulkan, agar usulan itu diperhatikan lebih serius supaya adat ini kebali pulih seperti yang dulu,” tandas Bandari.
Tinggalkan Balasan