Tandaseru — Puluhan aktivis Solidaritas Aksi Mahasiswa untuk Rakyat Seluruh Indonesia (Samurai) Distrik Universitas Pasifik (Unipas) Pulau Morotai, Maluku Utara menggelar aksi di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Morotai, Senin (26/10). Aksi tersebut sempat ricuh saat digelar hearing bersama para wakil rakyat.
Aksi yang dikoordinir Fitra Piga ini menyuarakan berbagai tuntutan. Salah satunya terkait pinjaman Pemerintah Daerah ke Pemerintah Pusat sebesar Rp 200 miliar terkait Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Massa aksi meminta pinjaman tersebut dibatalkan karena bersifat terselubung.
“Situasi negara Indonesia yang tidak baik-baik saja dalam sektor perekonomian akibat hadirnya Covid-19 berimplikasi juga sampai pada tingkat daerah, salah satunya Morotai yang mengalami defisit sebab roda perekonomian yang tidak berputar dengan baik hingga berujung pada peminjaman senilai Rp 200 miliar dengan alasan pemuliahan ekonomi. Namun dalam hal ini ada beberapa persoalan yang masih bersifat terselubung,” papar Fitra saat menyampaikan orasinya.
Fitra bilang, hasil investigasi Samurai, pinjaman itu difokuskan untuk pembangunan infrastruktur yang tidak berkaitan dengan tujuan peminjaman yaitu pemulihan ekonomi.

“Padahal terkait dengan situasi daerah Morotai yang notabene masyarakatnya sebagian besar petani dan nelayan maka untuk pengembangan perekonomian haruslah dilakukan pemberdayaan terhadap petani dan nelayan. Malah pembangunan infrastruktur hari-hari ini membunuh perekonomian rakyat dalam sektor nelayan yakni dengan melakukan reklamasi,” bebernya.
Tak lama menyampaikan unek-uneknya, massa aksi diajak masuk untuk melakukan hearing. Namun dalam hearing tersebut, nyaris terjadi adu jotos antara massa aksi dengan personel Satpol PP.
Hal ini terjadi ketika pertemuan yang dipimpin Ketua DPRD Rusminto Pawane itu sudah mau dimulai. Ariesto Lumbessy, salah satu aktivis Samurai, lantas meminta agar spanduk bertuliskan “Cabut Omnibus Law. DPRD dan Pemda Lebih Berbahaya dari Covid-19″ dan pamflet bertuliskan “Demi keselamatan rakyat, saya siap bertemu dengan malaikat pencabut nyawa. Dan DPRD tara otak” diletakkan di depan meja Ketua DPRD.
Mendengar itu, sejumlah mahasiswa langsung maju ke depan memasang spanduk itu. Namun tindakan ini diadang para anggota dan staf DPRD.

“Tadi kan sudah diambil dokumennya tinggal dikirim. Pernyataannya telah diambil. Kalian diterima untuk hearing, jangan taruh di situ (meja Ketua DPRD, red). Dipasang di sini saja (meja anggota DPRD, red),” ujar sejumlah anggota DPRD.
Tak terima dengan pencopotan spanduk, salah satu massa aksi bernama Ridwan So Planet langsung memukul meja. Akibatnya, belasan anggota Satpol PP merangsek masuk dan menangkap Ridwan untuk dibawa keluar ruangan. Melihat rekannya ditarik, terjadilah adu mulut. Para mahasiswa pun saling dorong dengan Satpol PP karena menolak temannya dikeluarkan.
“Samurai so banyak aksi, sekali lagi Samurai so banyak aksi, tapi implementasinya tara ada. Rakyat so sangat sengsara,” teriak Ridwan saat ditarik keluar oleh Satpol PP.

Beruntung, rekan-rekan Ridwan yang lain merasionalisasikan kepada Satpol PP bahwa mereka hanya akan menyampaikan sikap sehingga ia tak jadi dikeluarkan dan hearing bisa dilanjutkan.
Tinggalkan Balasan