Tandaseru — Pengelola RSUD Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara diduga melakukan pembiaran terhadap sampah medis dan nonmedis. Pasalnya, selama beberapa hari limbah tersebut dibiarkan tergeletak begitu saja di parkiran mobil ambulans rumah sakit.

Pantauan tandaseru.com sejak Rabu (30/9) hingga Kamis (1/10), sampah yang terdiri dari sarung tangan bekas, botol obat, jarum suntik hingga botol cairan infus diletakkan dalam kardus di parkiran. Ironisnya, sebagian kardus telah hancur karena basah hingga sampah medis tersebut bisa dilihat siapa saja yang lewat areal itu.

Mirisnya lagi, lokasi parkiran yang ada sampahnya itu berjarak tak jauh dari ruang bersalin dan musala rumah sakit. Padahal, sampah-sampah tersebut merupakan salah satu sumber penyakit.

Direktur RSUD Sanana dr. Makmur Tamani saat dikonfirmasi menyatakan, sampah medis dan nonmedis yang ditampung di parkiran mobil ambulans tersebut akan dibakar.

“Ooh, itu menunggu apa, itu kan nanti dibakar. Itu sampah untuk dibakar pakai incinerator alatnya,” katanya dengan nada gugup, Kamis (1/10).

Sampah medis dan nonmedis yang dibiarkan begitu saja di parkiran ambulans RSUD Sanana. (Tandaseru/Samsur)

Ditanya kapan sampah tersebut dibakar, dr. Makmur bilang, dalam waktu dekat sampah-sampah itu akan segera dibakar.

“Dalam dua hari ini akan dibakar,” akunya.

Dia beralasan, ada gangguan pada mesin pembakar sampah medis milik RSUD Sanana itu. Karena itu pembakaran sampah terhambat.

“Kemarin-kemarin baru selesai perbaikan, ada gangguan sedikit. Ada gangguan, tidak normal. Mereka baru lapor saya. Saya baru kroscek tadi,” ungkapnya.

Dewan Daerah Walhi Malut Kuswandi Buamona saat dimintai tanggapannya menyampaikan, pengelola RSUD Sanana jika dalam melakukan kegiatan pengelolaan sampah medis tidak sesuai norma, standar, prosedur, atau kriteria sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan maka dapat dipidana. Hukumannya adalah penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda antara Rp 100 juta hingga Rp 5 miliar sebagaimana Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Pengelolaan Sampah.

Lanjut Wandi, sapaan akrabnya, jika sampah yang dibuang sembarang itu masuk kategori limbah berbahaya dan ada unsur kesengajaan oleh pegawai rumah sakit, maka bisa terkena pidana sesuai ketentuan yang diatur dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

“Secara umum, pada Pasal 60 UU PPLH telah diatur sebagaimana mestinya. Bahwa setiap orang yang melakukan dumping limbah medis ke media lingkungan hidup itu kemudian lalai, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar,” terangnya.

Sampah medis dan nonmedis yang dibiarkan begitu saja di parkiran ambulans RSUD Sanana. (Tandaseru/Samsur)

Tak hanya itu, lanjut Wandi, pengelolaan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) atau limbah infeksius, tidak boleh sembarangan dibuang di ruang publik.

“Harus mengikuti mekanisme yang diatur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” sambungnya.

Wandi menambahkan, hal itu juga sesuai Surat Edaran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bernomor SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 tentang Pengelolaan Limbah (B3) dan Sampah Rumah Tangga dari penanganan Corona Virus Disease (Covid-19).

“Karena itu saya meminta kepada pihak terkait, baik kepolisian untuk mengungkap pelaku pembuang limbah medis di lingkungan RSUD Sanana tersebut,” kecam Direktur YLBH Walima ini.

Menurut Wandi, kasus semacam ini sangat berbahaya dan harus diungkap siapa pelaku pencemaran lingkungan agar publik tidak menduga-duga bahwa pelaku pembuangan limbah berbahaya tersebut adalah pihak RSUD sendiri.

“Jangan sampai kejadian ini terus terulang dan tidak ada efek jera,” tukasnya.