Oleh: Abd Assagaf
Isu keabsahan ijazah Presiden Joko Widodo kembali menggelinding di ruang publik. Bukan sekali dua kali perdebatan ini muncul, namun entah mengapa, selalu menemukan cara untuk kembali hidup. Dari ruang sidang, kanal media, hingga meja kopi, gosip ijazah presiden menjadi bahan diskusi tanpa ujung. Fenomena ini menegaskan betapa kuatnya daya ledak informasi di era demokrasi digital. Sekali digulirkan, bisa terus berputar tanpa pernah benar-benar berhenti.
Di titik ini, pertanyaan sederhana justru menjadi sulit dijawab apakah kita sedang menyaksikan upaya murni mencari kebenaran, manuver politik yang terorganisir, atau sekadar kebisingan demokrasi yang kehilangan fokus di penghujung era Jokowi?
Mahkamah sudah menolak gugatan hukum terkait ijazah, Universitas Gadjah Mada pun telah memberi klarifikasi. Namun suara keraguan tetap menggema. Polemik ini tidak lagi berhenti pada soal administratif, tetapi bertransformasi menjadi amunisi politik. Celah kecil diperbesar, keraguan dipoles menjadi narasi, lalu diproduksi ulang dalam bentuk spekulasi.
Tak bisa dipungkiri, isu ini muncul berulang di momen strategis jelang pemilu, saat tekanan terhadap pemerintah meningkat, atau ketika popularitas presiden mengalami fluktuasi. Narasi keraguan tidak digerakkan oleh ruang kosong, melainkan oleh jejaring kepentingan yang terstruktur. Sasarannya bukan hukum, melainkan persepsi publik.
Di sinilah permainan dimulai. Kebenaran tidak lagi soal bukti, tetapi soal siapa yang lebih sering mengulang narasi. Ketika keraguan ditanamkan dalam benak masyarakat, maka bisa menjadi senjata politik yang efektif, meski tanpa landasan fakta kokoh.
Meski begitu, tak adil jika semua suara kritis dipukul rata sebagai bagian dari konspirasi. Ada kelompok masyarakat yang sungguh-sungguh menuntut transparansi. Mereka percaya, semua pejabat publik, termasuk presiden, wajib tunduk pada prinsip akuntabilitas. Mereka tidak puas dengan klarifikasi sepihak, mereka menuntut bukti nyata.
Inilah paradoks demokrasi bahwa kebenaran seharusnya diuji, bukan sekadar diyakini. Namun, dalam praktiknya, pencarian kebenaran sering tenggelam dalam lautan framing, manipulasi data, dan gaduh opini. Demokrasi digital memberi ruang bagi setiap orang untuk merasa jadi penyelidik, tetapi hasilnya sering bukan pencerahan, melainkan kebingungan kolektif.
Polemik ijazah Jokowi adalah cermin dari demokrasi yang riuh oleh kebisingan. Di era algoritma, yang viral lebih dipercaya daripada yang benar. Batas antara informasi dan disinformasi makin kabur, sehingga publik kehilangan fokus. Kita lebih sibuk memperdebatkan ijazah, ketimbang menyoal stunting, harga pangan, korupsi, atau pendidikan.
Demokrasi pun bergeser menjadi panggung gaduh, di mana semua tokoh bisa diragukan, semua lembaga bisa dipelintir, dan semua isu bisa dimanipulasi. Ironisnya, semua ini berlangsung atas nama demokrasi itu sendiri.
Gelombang protes mahasiswa dan rakyat sejak 25 hingga 29 Agustus 2025 juga memperlihatkan dimensi lain. Ada tudingan bahwa gerakan ini dipicu oleh kelompok tertentu, bahkan dibiayai kekuatan asing. Jika benar demikian, maka polemik ijazah hanyalah pintu masuk dari drama politik yang lebih besar. Pertanyaan pun menggantung, siapa sebenarnya dalang di balik semua ini?
Pada akhirnya, drama ijazah Jokowi menunjukkan bahwa narasi publik hari ini tidak lagi sesederhana hitam-putih, benar-salah. Yang ada hanyalah kabut kepentingan dan pertarungan persepsi. Apakah ini konspirasi? Bisa jadi. Apakah ini pencarian kebenaran? Mungkin. Atau sekadar kebisingan demokrasi? Tentu saja.
Namun satu hal pasti bahwa demokrasi yang matang tidak lahir dari kegaduhan, melainkan dari keberanian mencari fakta, menyaring informasi, dan menolak manipulasi. Semua warga berhak bertanya, semua pemimpin wajib menjawab, dan semua pihak mesti belajar menjaga demokrasi dari jebakan kebisingan.
Tinggalkan Balasan