Oleh: Asghar Saleh
_______
DINDING bercat putih itu penuh dengan lukisan dan ornamen seni lain yang saling menggoda. Di salah satu dinding, sebuah lukisan berbingkai menempel dengan artistik. Ukurannya tidak besar. Tapi penuh enigma. Ada samar bayangan masa lalu yang membius. Ada kehormatan yang jadi legenda.
Di dalam bingkai hitam dengan sedikit pembatas berwarna emas yang dilindungi kaca – sosok itu dilukis dengan kombinasi kegelapan, cahaya, soliditas dan warna, jarak dan kedekatan, gerak dan diam serta bentuk dan posisi yang menurut Leonardo da Vinci adalah atribut penglihatan yang jadi kekuatan sebuah lukisan.
Pria dalam lukisan itu berwajah oval dengan mata tajam dilengkapi hidung yang mancung. Kumis panjang melintang melebihi garis bibir merefleksi martabat dan keberanian. Rambut hitamnya dihiasi pernik emas murni yang saling melilit. Yang bikin orang ramai terhenyak adalah tulisan besar di bawah lukisan itu: Saifoedin – Coningh Van Tidore.
Kita tahu jika lukisan itu adalah wajah Sultan Tidore ke 11 yang memerintah dari tahun 1657 hingga 1687. Lukisan yang sudah banyak beredar di publik. Ada di banyak perpustakaan universitas ternama. Tetapi yang mengejutkan adalah sumber lukisan itu ternyata ada di dinding sebuah museum di Polandia. Negara di belahan Eropa Timur yang secara historis tidak memiliki catatan apapun yang terhubung dengan kejayaan masa lalu Tidore.
Kurator museum itu, Adam Spodaryk, menjelaskan jika lukisan Sultan Saifudin adalah salah satu mahakarya bernilai tinggi yang jadi koleksi museum Czartoryski di kota Krakow – sebuah kota di bagian selatan Polandia yang dekat dengan Czeska. Museum yang berdiri sejak tahun 1878 ini juga menyimpan salah satu lukisan terkenal da Vinci – “Lady with an Ermine” dan beberapa karya Rembrandt.
Krakow di masa lalu pernah menjadi ibukota Polandia. Kota tua ini jadi saksi pergulatan kekuasaan dan perang. Kehancuran dan kebangkitan jadi identitas yang sublim. Dari kota di tepian sungai Vistula ini juga, lahir beberapa tokoh dunia yang kita kenal seperti fisikawan Nikolas Kopernikus dan juga Uskup Karol Wojtyla yang diangkat menjadi Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1978.
Menurut Adam, museum ini mulai dikerjakan tahun 1874. Lokasinya menempati sebuah gudang senjata tua yang direnovasi oleh Wladyslaw Craztoryski – cucu dari Puteri Izabela Craztoryski yang memindahkan semua warisan keluarganya ke kota Krakow – sekitar 300 km dari Warsawa, Ibukota Polandia saat ini. Museum ini diresmikan pada tahun 1878 dan terus digunakan hingga kini. Ia jadi salah satu museum nasional di Polandia.
Adanya koleksi lukisan dan berbagai karya seni bermula dari minat Puteri Izabela (1746-1835) yang kemudian mengumpulkannya dari berbagai belahan dunia. Ia adalah seorang penulis dan pelindung seni yang kemudian mendirikan museum pertama di kota Pulawy. Museum Gothic namanya. Semula hanyalah “private museum” yang ada sejak tahun 1801. Klan Craztoryski sendiri adalah bangsawan terkemuka. Garis keturunannya bertaut erat dengan kebesaran Polandia di masa lalu.
Adam bercerita jika museum di Pulawy mengalami pasang surut seiring banyaknya konflik yang berkecamuk di negaranya. Ada perebutan kekuasaan dan perang keluarga. Karena takut koleksinya rusak, putera Izabela – Pangeran Adam Jerzy Craztoryski membawa artefak seni itu ke Paris. Ia baru membawanya kembali ke Krakow pada tahun 1876. Namun Perang Dunia I dan II membuat situasi jadi rumit. Banyak artefak diangkut ke Jerman. Usai perang, sebagian besar koleksi seni itu dikembalikan namun ratusan karya seni abad pertengahan itu hilang hingga kini.
Beruntung yang kembali itu termasuk lukisan Sultan Saifudin. Dari arsip berbahasa Polandia yang ada di museum Krakow, tertulis jika lukisan ini dibeli oleh Konstanty Czartoryski pada sebuah pelelangan barang antik di Den Haaq Belanda pada 2 Oktober 1769. Pemilik lukisan ini adalah G. Cocq dari keluarga G. van den Polder yang juga menjual lukisan para Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari tahun 1610 hingga 1735. Aslinya lukisan ini tercatat sebagai Raja Ternate dengan nomor katalog 140.
Belakangan identitas lukisan diubah menjadi Raja Tidore. Tak ada yang tahu siapa pelukisnya. Kuat dugaan lukisan ini dibuat untuk menghormati kerjasama Sultan dengan Simon Cos, Gubernur jenderal VOC di Maluku yang memerintah antara tahun 1656 – 1662. Bahan yang digunakan yakni cat minyak di atas papan kayu seukuran 32 x 24,5 cm memiliki kemiripan dengan lukisan para gubernur jenderal VOC pada masa itu.
Aspek pewarnaan juga jadi ciri khas lukisan abad 17 yang didominasi putih timbal, kuning timah, cinnabar, oker merah, pigmen tembaga dan hitam karbon. Hal yang sama terlihat pada “difusi” dan “coding” lukisan yang menunjukkan waktu pembuatannya. Sangat mungkin lukisan ini dibuat di Tidore di saat Sultan Saifudin berkuasa. Pelukisnya didatangkan dari Belanda.
Jhon Guy dalam jurnal terbitan Yale University “Interwoven Globe – The Worldwide Textile Trade 1500 – 1800” menyebut Sang Sultan memakai baju berbentuk jaket yang mencerminkan mode pakaian Belanda di pertengahan abad 17. Jaket ini memiliki bordiran bermotif bunga yang terlihat sangat mewah dan sangat mungkin berasal dari Safavid di Iran. Sultan juga mengenakan kalung emas bertahtakan permata yang diberikan VOC.
Sedangkan hiasan emas di rambutnya adalah produk kerajinan lokal. Sesuatu yang membuktikan tingginya peradaban Tidore pada saat itu. Emas dan pakaian adalah bagian dari “trend setter” karena sering jadi hadiah untuk kerjasama yang saling menguntungkan antar penguasa. Di abad 16 hingga 18, saat daerah lain masih kesulitan bahan makanan dan dimuk perang, Tidore sudah “bergaya” dengan kain yang dipakai oleh rakyat biasa.
Sultan Saifudin adalah penguasa yang pionir memainkan peran Tidore dalam konstelasi global saat itu yang penuh dengan rebutan daerah jajahan dan penguasaan rempah. Aliansi yang dibangun dengan VOC bertujuan untuk membatasi pengaruh Spanyol di Maluku. Meski begitu, Tidore tidak pernah tunduk sepenuhnya kepada VOC.
Dasar kerjasama dan kelindan situasi saat itu menunjukkan visi diplomatik yang visioner dari Saifudin. Ia ingin Tidore berada dalam posisi yang sama dengan Ternate yang terlebih dahulu bekerja sama dengan VOC. Adnan Amal dalam “Kepulauan Rempah-Rempah” menyebut, Saifudin menjalankan politik kenegaraan dengan dua wajah yang berbeda. Terhadap VOC, ia lebih pragmatis. Sedangkan secara internal, ia bersikap lebih tradisional dengan mengedepankan pendekatan adat dan budaya.
Selama memerintah Tidore dalam kurun waktu 30 tahun, Saifudin lebih banyak menjalankan misi damai. Komunikatif dan persuasif. Tak boleh ada kekerasan dalam setiap kebijakan. Rakyat jadi prioritas. Semua kompensasi yang diberikan VOC sebagian besar dibagikan kepada rakyat Tidore. Tak kala VOC memberikan hadiah kain sebesar 2000 rijksdaalders, Sultan memerintahkan agar semua kain itu dibagikan kepada rakyat.
Jika penguasa sebelumnya atau penguasa di Ternate menghabiskan sebagian besar anggaran untuk operasi militer memadamkan pemberontakan negeri bawahan, Saifudin justru menghabiskan anggaran negara untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Dalam catatan Adnan Amal – saat VOC menuntut monopoli penuh atas perdagangan cengkih, Saifuddin bernegosiasi untuk mengamankan hak Tidore atas Raja Ampat dan Papua.
Pada tanggal 28 Maret 1667, Saifudin melakukan perundingan tertutup dengan Laksamana Speelman di benteng Orange Ternate. Hasilnya VOC mengakui kedaulatan Tidore atas Raja Ampat dan Papua. Sebuah capaian yang menyatukan Tidore tak hanya secara politik tetapi juga secara teritorial. Naskah perjanjian yang ditulis menggunakan bahasa Belanda dan Bahasa Tidore dengan huruf melayu Arab itu juga memberikan hak monopoli VOC untuk perdagangan cengkih dalam wilayah Tidore.
Sultan ini juga merevolusi sistem kepemimpinan lokal yang sebelumnya sangat “berjarak” dengan rakyat. Saifudin selalu berkeliling dan menyapa rakyat secara langsung. Ia sering terlihat berbicara dengan rakyat di pantai, di jalanan, di pasar atau di tempat yang ramai. Pintu Kadato Limau Tidore di Soasiu selalu terbuka untuk rakyatnya. Ia juga kerap jadi armor hukum yang melindungi rakyatnya. Para petinggi VOC disebut-sebut tak nyaman dengan gaya Sang Sultan.
Dalam bukunya “Dunia Maluku” Leonard Andaya menyebut VOC sangat mengakui Saifudin sebagai ahli dalam adat istiadat Maluku. Ia kerap berkhotbah dengan menggunakan bahasa Tidore yang membuat rakyatnya sangat memahami maksud dan tujuan yang ingin dicapai. Ia juga berulang kali menegaskan bahwa semua kebijakan dan tindakannya sebagai Sultan selalu mengacu pada keyakinan di Tidore dimana para leluhur telah meletakkan dasar yang baik untuk mengatur Tidore.
Karena itu butuh “sonyinga” – semacam upaya untuk terus mengingat pesan kebaikan para leluhur lewat ritual dan narasi resmi sejarah. Saifudin mewariskan relik yang kelak jadi pedestal hidup orang-orang Tidore dalam bentuk konstitusi dasar Kesultanan. Rusli Saraha dalam sebuah esai tentang Sultan Saifudin yang terangkum dalam bukunya “Tokoh Jazirah Raja-Raja” menyebut Sang Sultan sebagai seorang revolusioner yang meletakkan pondasi demokratisasi di Tidore.
Pondasi demokrasi itu terdiri dari; “Kie se Kolano” yang menegaskan jika Sultan selalu bersama rakyat dan wilayah kekuasaannya, “Adat se Nakudi” yang mengatur kehidupan yang adil dan beradab, “Atur se Aturan” yang berkaitan dengan pelimpahan kekuasaan serta penegakan hukum, “Fara se Filang” yang menetapkan desentralisasi keuangan antara pusat pemerintahan dan daerah, serta “Syah se Fakat” yang mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Di masa Saifuddin, prosesi pergantian Sultan lewat jalur putra mahkota juga dihilangkan. Meskipun bercorak “monarki absolut” dimana Sultan adalah penguasa tunggal dan memiliki banyak otoritas, Saifudin mengangkat beberapa menteri yang ikut membantunya. Ia juga menyerahkan proses pergantian Sultan lewat jalan demokratis dimana calon Sultan diusulkan oleh empat klan besar yang disebut “fola raha”.
Baik Andaya maupun Adnan Amal mencatat satu-satunya “kegagalan” Saifudin adalah mimpinya untuk merestorasi empat pilar Maluku yang tak pernah terwujud. Sejak awal memerintah Tidore, Saifudin berkeyakinan bahwa harmonisasi dan kebangkitan Maluku hanya akan berjalan jika Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan ada di panggung yang sama. Berulang kali ka mendesak VOC agar Jailolo dipulihkan sebagai sebuah kesultanan yang lepas dari aneksasi Ternate. Sayangnya, upaya itu selalu gagal.
Bercermin dari lukisan yang ada di museum Krakow, Saifudin secara langsung melegalisasi sebuah nilai kesederhanaan yang kini jadi barang langka dalam kehidupan bernegara. Di lukisan itu, Ia dengan “telanjang” membiarkan dirinya ditampilkan dengan kondisi yang munasabah. Tangan kanannya dibalut dengan temblak. Ia sakit dan menolak kamuflase. Sebuah realisme yang mencolok dimana seorang Sultan bersedia menampilkan “kekurangan” fisiknya.
Padahal jika ia mau, lukisan itu bisa saja dimanipulasi dengan potret yang lebih glamour. Temblak yang membalut luka terlihat begitu kontradiktif dengan pakaian, kalung penuh permata dan hiasan emas di rambutnya. Lukisan ini mengajarkan kejujuran yang guyub. Berbeda dengan kegaduhan politik saat ini yang penuh dengan pencitraan yang menipu. Media sosial dan algoritma dipakai untuk melegitimasi kebohongan dan melanggengkan kebodohan. Akal sehat diretas.
Meski menderita sakit, Saifudin tetap memimpin Tidore. Dari kamar kecilnya yang tertutup dan penuh harum dupa, Ia terus membagi kebajikan. Menjaga Tidore dari kemunduran dan perebutan kuasa. Juga ancaman VOC. Tanggal 2 Oktober 1687, paladin Tidore ini mangkat dalam kesederhanaan hidup yang akan terus dikenang. (*)
(Ucapan terima kasih untuk Direktur Museum Krakow, Ci Anita Gathmir dan suami, Kris Syamsudin, Ko Ipoel Ruray, Ul Faruq, Rusli Saraha dan Irfan Ahmad).
Tinggalkan Balasan