Oleh: M. Guntur Alting

Pengajar IAIN Ternate 2001-2016

________

Untuk membunuh sebuah peradaban bangsa, maka bunuhlah memori kolektif masa lalunya.” (Yudi Latif)

DALAM sebuah WhatsApp Group keluarga, saya sempat mengirim sebuah narasi singkat. Temu alumni adalah “reconecting to the past”. Ada memori kolektif masa lalu yang perlu diucapkan dan dirayakan.

Sebagai makhluk budaya, manusia punya naluri berkumpul atau berhimpun yang tidak bisa dibendung. Segala sesuatu yang dijalani, berguna, dan dinikmati pada masa lalu memang tidak mungkin bisa dihentikan.

Reuni/temu alumni adalah “fantasizing to the past,” mengingat kembali yang lama untuk dihadirkan pada masa kini, sebagai sebuah festifal atau perayaan. Bahwa ada suatu masa, di mana berhimpun dan berjuang dalan posisi setara itu adalah “fakta”. Bahwa kini berbeda juga sebagai sebuah fakta.

Narasi WhatsApp di atas, sebenarnya hanya mencoba merespons perspektif ‘disfungsional’ dari sebuah ‘reuni’ yang ditulis oleh ‘blogger kondang’ Yusran Darmawan. Ia menulis ”reuni adalah peristiwa ingatan. Tapi yang kini terlihat justru panggung kecil-dengan sorotan diarahkan pada mereka yang ada: gelar, jabatan, kendaraan. Seakan masa lalu, katanya, hanya layak dikenang jika disertai keberhasilan yang bisa dipamerkan.

Ia pun melanjutkan “reuni adalah cermin.” Tapi menurutnya ia lebih mirip jendela. Bukan untuk melihat ke dalam, tapi untuk membiarkan struktur sosial dari luar masuk ke ruang kenangan. Dalam pandangannya, kita membawa serta dunia hari ini—dunia yang sibuk dengan mengklasifikasi. Dunia yang menjunjung hierarki ke tempat yang seharusnya membuat kita merasa pulang.

“Hidup bukanlah lintasan yang sama untuk semua. Setiap orang punya jalan pedangnya sendiri–sunyi,terjal, dan tak selalu layak dijadikan tontonan,” ujarnya.

Sosiolog Robert K Merton menyebutkan suatu peristiwa sosial itu punya dua fungsi. Fungsi manifes (yang disadari), tapi juga punya fungsi laten (tak disadari/dharapkan). Untuk fungsi/motif laten, bagi saya, hanya individu dan Tuhan yang tahu. Ranah kita adalah fungsi/tujuan yang dimaksud, yang dinyatakan, atau diniatkan (manifest).

Di samping “manifest function dan laten function” Merton juga punya konsep disfungsi (dysfunction). Kata Merton “bisa jadi sebuah peristiwa sosial fungsional (berguna) bagi seseorang, tapi menjadi disfungsional (tak berguna) bahkan tragedi bagi orang lain.

Dari perspektif Merton inilah, sentilan Yusran Darmawan dengan mudah kita letakkan. Bahwa, ia melihat dari maksud laten (tersembunyi) yang tentu ini wilayah “abu-abu” dan sekaligus ia melihat aspek disfungsi bagi sebagian yang lain, yang merasa tak ada yang bisa diperlihatkan untuk dibanggakan pada momen reuni.

Bagi saya, setiap pertemuan apapun, termasuk temu alumni punya tujuan mainifest dan fungsional (positif) dan itu tertera dalam “term of reference” (TOR) yang biasanya disusun oleh panitia dan pengurus. Dan mungkin juga terdapat pada AD-ART IKA itu sendiri.

Dalam konteks itulah tulisan sederhana ini hadir. Setidaknya ada sebuah panggilan (moral call) bagi saya, yang pernah mengawali karier sebagai pengajar di IAIN Ternate dalam kurun 2001 s/d 2016.

—000—

Setiap orang memiliki ikatan emosional dan sosial yang sangat kuat dengan tempat tertentu, di mana ia menghabiskan sebagian dari masa hidupnya. Tempat itu bisa rumah, kampung, sekolah, kampus atau tempat kerja.

Ini menunjukkan setiap tempat atau penggalan masa punya jejak (menempel kenangan), baik indah maupun tidak indah. Bahkan ‘ajaibnya’ kenangan yang tak indah itu jika sudah lewat dan ketika dikenang kembali akan ‘menjadi indah.’

Filosof eksistensialisme Martin Heidegger dengan konsep “terlempar” (Geworfenheit) nya menyebut; manusia itu tiba-tiba terlempar di dunia ini, pada faksitas-faksitas (penggalan hidup) yang dia tidak mengerti. Namun harus menghadapinya dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya.

Sebagai manusia budaya, ada dorongan romantisme pada individu untuk kembali menengok jejak-jejak masal lalunya. Karena itu muncul fenomena seperti pulang kampung, tengok, rumah, kebun. bagi masyarakat rural (desa), setidak yang mendiami “small city”/kota kecil.

Tapi, bagi masyarakat urban (kota) yang tak selalu menetap, berpindah-pindah mengikuti tempat kerja, kadang di apartemen, kosan atau kontarakan, dan rumah dinas, memorinya mungkin bukan pada rumahnya, tetapi pada lingkungannya, pada almamaternya, pada rekan sejawatnya, pada kotanya. Mereka juga mempunyai keterikatan yang menyatu dengan alam dan komunitasnya. Karena itu kita menyaksikan adanya acara seperti reuni SMA, reuni teman-teman seangkatan waktu kuliah, paguyuban pensiunan, pengajian sesama kloter waktu haji, dan sebagainya.

Bagi mereka, reuni itu dapat merajut kembali kenangan masa lalu yang mulai samar-samar, membuka kenangan album-album lama yang tersimpan, yang menumbuhkan perasaan sentimental.

Bagaimana pun, kita tinggal dan tumbuh tidak terkurung oleh rumah yang bersifat fisik. Melainkan juga rumah psikologis, rumah budaya atau rumah kenangan. Karenanya, siapa pun orangnya yang berpindah rumah, kampung, kota, sekolah atau kampus dan tempat tugas yang baru, tetap memerlukan adaptasi psikologis.

Bagaimana kalau romantisme itu berkaitan dengan tempat kuliah? Di sinilah muncul kata “alumni” yang menjadi wadah “bangunan psikologis” untuk menikmati dan merayakannya.

Kata alumnus dan alumni tentu tak lagi asing. Terlebih lagi kata alumni yang kerap digunakan dalam organisasi yang menghimpun para lulusan sebuah sekolah atau kampus. Umumnya, nama organisasi alumni tersebut didahului kata ‘Ikatan’ atau “Keluarga”.

Makanya ada Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Ilumni UI). Ada Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB). Ada juga Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA). Dan Ternate punya Ikatan Alumni IAIN (IKA-IAIN) Ternate.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata alumni bermakna orang-orang yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolah atau perguruan tinggi. Sementara alumnus bermakna orang yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolah atau perguruan tinggi.

Dari kedua makna tersebut, kita bisa menemukan letak perbedaannya. Alumni adalah bentuk jamak dari alumnus yang menunjukkan banyak orang. Sementara, alumnus adalah bentuk tunggal yang menunjukkan satu orang saja. Dengan kata lain, alumni adalah kumpulan para alumnus.

Dari sinilah, muncul kegiatan reuni/pertemuan alumni yang mengumpulkan sejumlah para alumni dari sejumlah angkatan pada sebuat tempat dan waktu tertentu dengan jumlah yang tidak dibatasi.

—000—

Membaca Tema Pertemuan Alumni “Mengukir Jejak, Menginspirasi Dunia”, saya jadi teringat dengan buku ”Dari Pesantren untuk Dunia: Kisah-kisah Inspiratif Kaum Santri” yang disunting oleh Prof. Dr. Komarudin Hidayat.

Buku ini menyajikan tulisan semiautobiografi sekelompok santri alumni IAIN Syarif Hidayatullah. Bagaimana kisah perjuangan mereka yang berasal dari anak desa lalu berhasil menyelesaikan kuliah sampai meraih doktor, yang sebagian besar diraih di luar negeri di universitas terkemuka.

Ada 17 sosok yang berkisah. Di antara mereka adalah sederetan sosok yang menjadi ‘jagad langit pemikiran’ di negeri ini. Sebutlah Komarudin hidayat, (alm) Azyumardi Azra, Bahtiar Efendi (Alm), M. Atho Mudzor, Amsal Bahtiar, Fuad Jabali, Ali Munhanif dan Hendro Prasetyo dan deretan nama lainnya.

Sosok-sosok ini adalah mereka yang telah mengalami pergulatan bertahun-tahun silam di almamternya (pesantren). Mereka pula yang kemudian merasakan manisnya buah dari perjuangan dan pelajaran yang di dapat dari almamaternya.

Mereka telah membuktikan, betapa ilmu tentang kehidupan yang didapat di almamaternya membuat mereka bertahan, tegar, sekaligus cerdas dalam menghadapi rintangan dan terjangan arus kehidupan. Dan akhirnya menjadikan mereka sebagai tonggak baru dalam pemikiran dan pergerakan Islam di Indonesia.

Dalam subyektifitas saya yang bukan almunnus kuliah di IAIN Terntae, tapi penah mengajar di kampus ini, fakta menunjukkan bahwa UIN Ternate juga melahirkan sederetan sosok yang juga telah menjadi ‘jagad langit pemikiran’ di Maluku Utara. Begitu juga banyak alumni yang berkiprah diberbagai lini: lembaga komisioner (KPU/Bawaslu), partai politik, anggota DPRD, birokrat, politisi, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota,ywakil gubernur, rektor. Kalau pemikir dan praktisi pendidikan dan hukum Islam, hal itu tidak perlu diragukan lagi.

Setelah menamatkan S-1, maupun S-2 bahkan S-3, sebagian telah menyandang guru besar, sebagian berkiprah di birokrasi, LSM, akademisi, guru, wartawan, pengusaha dan deretan kiprah lain tersebut. Tentu ada kegelisahan dan panggilan moral. Sumbangan intelektual apa yang hendak diberikan pada masyarakat? Setelah sekian tahun menghabiskan waktu untuk belajar di IAIN Ternate.

Pertanyaan ‘retrospeksi’ yang patut mengemuka adalah; “Apakah kita sudah membayar utang pada masyarakat, umat maupun bangsa?” Ada harapan dan amanat yang diletakkan pada pundak para alumni untuk turut serta membangun umat dan bangsa. Sebagai kaum ‘scholar’, harus peduli bagaimana memajukan pendidikan anak-anak dari mana ia berasal. Ini merupakan panggilan mulia dan sekaligus menantang. Spirit inilah yang membuat mereka mau berhimpun dalam suatu wadah IKA-IAIN, menghidupkan kultur pengabdian pada umat dan bangsa.

Melihat jejaring aktivis dan intelektual yang dimiliki oleh alumni IAIN Ternate, baik di level lokal maupun nasional, mungkin sudah saatnya berpikir lebih progresif, membuat agenda ‘akselerasi’ agar IAIN Ternate menjadi pusat peradaban yang “ikonik”. Menjadi kebanggaan umat Islam di Indonesia Timur, dan Maluku Utara khususnya. Memiliki pusat ‘studi keislaman’ yang memberi kontribusi keilmuan dan pengalaman sejarah yang sedemikian kaya pada tingkat nasional maupun global.

IAIN Ternate sebagai kampus dan pusat kebudayaan yang disegani dan mumpuni sehingga menjadi daya tarik orang luar belajar Islam ke Indonesia Timur, khususnya Maluku Utara yang sedemikian kaya dengan pengalaman kultural, historis, politis dan intelektual.

Saya tidak tahu, apakah sudah ada atau pernah terpikir upaya untuk menyusun semacam karya buku yang menceritakan kisah-kisah inspiratif dari alumni IAIN Ternate. Paling tidak terinspirasi dari buku karya para alumni UIN Syarif Hidayatullah tersebut. Sehingga menjadi motivasi dan inspirasi bagi angkatan Islam muda pada masa mendatang yang lebih abadi.

Apa yang kita alami dan rasakan saat ini akan sambung-menyambung dan menyatu dalam satu kesatuan “memori dan romantisme” yang kelak akan mengakar dalam pengalaman psikologis kita.

Dan kalau ada slogan yang menyebutkan “Dari UIN Ciputat untuk Dunia”, maka IAIN Ternate juga bisa menslogankan “Dari IAIN Dufa Dufa Ternate untuk Dunia” melalui jejak dan kiprah yang didokumentasikan dalam karya. Itulah makna sesungguhnya “Mengukir Jejak, Menginspirasi Dunia”.

Akhirnya “Selamat melaksanakan Temu Alumni”. Semoga memberi kontribusi untuk kemajuan almamater, umat dan bangsa. Semoga. Wallahu’alam. (*)

Catatan Kecil Menyambut Temu Alumni IAIN (IKA-IAIN) Ternate