Oleh: Fahmi Djaguna
Dekan FKIP UNIPAS Morotai
________
“INDONESIA bukan hanya Jakarta, dan pembangunan bukan hanya beton dan jalan tol di Jawa.” Kutipan tajam dari Indonesia dalam Arus Sejarah (Kemendikbud, 2016), bukan sekadar retorika. Kutipan ini adalah cermin tajam yang memantulkan wajah pendidikan kita yang pincang: satu sisi berbinar karena unggul, sisi lain remang karena tertinggal. Dalam konteks Pulau Morotai, gugusan pulau di utara Maluku, dinamika pendidikan khususnya gagasan sekolah unggulan perlu dikaji lebih dalam agar tidak menjadi alat eksklusivitas baru, melainkan pijakan keadilan pendidikan yang sejati.
Fenomena sekolah unggulan muncul sebagai salah satu bentuk ikhtiar lokal untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Di Pulau Morotai, inisiatif ini dimulai sejak 2019, di bawah kepemimpinan Benny Laos. Beberapa sekolah digabung dan dijadikan “unggulan,” dengan harapan melahirkan peserta didik yang unggul baik secara akademik maupun karakter. Namun dalam praktiknya, gagasan sekolah unggulan kerap melahirkan tanda tanya besar, bahkan kritik tajam. Apakah predikat “unggulan” itu mencerminkan keunggulan riil, atau sekadar jargon elitis yang menciptakan sekat baru dalam dunia pendidikan?
Konsep sekolah unggulan sejatinya mengandung kontradiksi. Di satu sisi, sekolah unggulan menjanjikan peningkatan kualitas. Namun di sisi lain, sekolah unggulan kerap menciptakan ilusi superioritas, seolah-olah sekolah lain menjadi inferior. Padahal, pendidikan tidak boleh menjadi ruang kompetisi eksklusif yang menegasikan kesetaraan. Di Pulau Morotai, tantangan akses pendidikan masih nyata: jarak tempuh yang jauh, sarana transportasi yang terbatas, hingga ketimpangan infrastruktur antarsekolah. Ketika hanya beberapa sekolah yang digadang sebagai “unggulan,” maka anak-anak dari desa-desa terpencil terpaksa menghadapi tantangan baru: berkompetisi di medan yang tidak setara.
Namun sejarah bergerak. Tahun 2025 menandai babak baru. Kepemimpinan Rusli-Rio mengusung semangat revitalisasi sekolah unggulan. Bukan membubarkan, melainkan memperbaiki. Bukan mengulang pola lama, tapi membentuk wajah baru: bukan sekadar pusat prestasi, melainkan sentra pembinaan; bukan simbol elitis, tetapi model pembelajaran untuk semua. Visi “Morotai Unggul, Adil, dan Sejahtera” menjadi fondasi perubahan ini.
Revitalisasi ini menjanjikan hal-hal penting: mengembalikan sekolah semula yang sempat ditutup, fasilitas yang merata, pelatihan guru yang setara, serta pendekatan belajar yang kontekstual dengan realitas Morotai. Sekolah unggulan tak lagi berdiri sebagai menara gading, tapi menjadi laboratorium pendidikan yang hasil dan metodenya bisa direplikasi oleh sekolah-sekolah lain. Inilah jalan tengah yang bijak: tetap menjaga kualitas tanpa meninggalkan akses.
Lebih jauh, revitalisasi harus berpijak pada keadilan spasial dan sosial. Di desa-desa terluar Morotai dari Aha Hingga Sambiki Tua, akses ke pendidikan layak bukan hanya soal jarak, tapi juga soal harapan.
Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa setiap anak, tanpa memandang domisili dan kemampuan ekonomi, punya kesempatan belajar dengan fasilitas dan guru terbaik. Jangan sampai sekolah unggulan hanya hadir di ibukota kabupaten, sementara desa-desa lain menjadi bayang-bayangnya yang suram.
Pendidikan bukan hanya soal gedung, kurikulum, dan nilai ujian. Pendidikan adalah proses pemanusiaan yang utuh, seperti kata Driyarkara (2011). Maka revitalisasi sekolah unggulan di Pulau Morotai tidak boleh melulu bersandar pada angka kelulusan atau peringkat ujian. Pendidikan harus dilandasi prinsip bahwa setiap anak, dengan segala keterbatasannya, berhak tumbuh dalam ekosistem pendidikan yang memanusiakan.
Dalam konteks ini, seruan Anies Baswedan (2018) “Gerakan Mengantarkan Anak ke Sekolah” layak dihidupkan kembali. Bukan sekadar secara fisik, tapi juga secara sistemik: mengantarkan mereka ke sekolah yang menerima, mendampingi, dan menumbuhkan. Di Pulau Morotai, di mana keterisolasian dan geografis menjadi tantangan, pendidikan harus menjadi jembatan bukan pagar.
Kini saatnya memilih: mempertahankan paradigma lama yang timpang, atau meretas jalan baru yang unggul sekaligus adil. Pulau Morotai bisa menjadi pelopor model pendidikan berbasis keadilan spasial dan sosial di kawasan timur Indonesia. Dan semua itu dimulai dari satu langkah: revitalisasi dengan hati. (*)
Tinggalkan Balasan