Oleh: M. Jain Amrin

_______

DI ujung timur kepulauan Indonesia, Tuhan menciptakan sesuatu yang terlalu indah untuk sekadar dipuji: Raja Ampat. Ia bukan sekadar tempat, ia adalah keajaiban. Airnya sebening iman, langitnya luas seperti doa, dan lautnya adalah rumah bagi kehidupan yang belum tentu ditemukan di belahan bumi manapun. Masyarakat adat hidup menyatu dengan alam bukan menguasai, tapi menjaga.

Namun hari ini, keindahan itu bergetar. Bukan karena gempa, tapi karena negara datang dengan agenda. Dengan peta konsesi di satu tangan dan kontrak tambang di tangan lain, mereka mengubah Raja Ampat dari surga menjadi komoditas. Tanah adat yang sakral dicatat sebagai “lahan potensial,” dan hutan hujan tropis diklasifikasi sebagai “sumber daya yang bisa dimanfaatkan.”

Mereka menyebutnya pembangunan. Tapi kami menyebutnya perampokan.

Bagaimana bisa negara yang selama ini menyerukan pelestarian, justru memberi izin tambang di tanah selestari ini? Bagaimana mungkin nama Raja Ampat yang dikenal dunia karena keanekaragaman hayatinya kini disandingkan dengan kata tambang, nikel, eksploitasi?

Negara Terlalu Tega

Mereka hadir bukan membawa air bersih, sekolah, atau layanan kesehatan. Mereka datang membawa alat berat, menghancurkan ekosistem yang selama ribuan tahun dijaga oleh leluhur kami. Tanpa musyawarah, tanpa persetujuan. Tanpa malu.

Padahal masyarakat adat tidak anti pembangunan. Tapi mereka tahu pembangunan sejati adalah yang menyisakan masa depan. Pembangunan sejati bukan yang menjual laut dan hutan kepada mereka yang bahkan tidak tahu cara mengucapkan nama pulau ini dengan benar.

Kini, air menjadi keruh. Ikan menjauh. Anak-anak kehilangan pantai tempat mereka belajar berenang dan menangkap ikan bersama ayahnya. Surga berubah jadi luka.

Negara terlalu jahat jika diam melihat ini. Lebih jahat lagi jika justru menjadi dalang di baliknya.

Raja Ampat tidak meminta banyak. Ia hanya ingin dijaga. Tapi penjaga itu kini berubah menjadi penjajah.

Dan mereka, yang tersisa, hanya bisa bersaksi. Bersaksi bahwa suatu hari nanti, anak-anak bertanya akan bertanya, “Mengapa kita kehilangan tanah ini?” Dan mereka harus menjawab, “Karena negara lebih memilih tambang daripada kehidupan.”

Save Raja Ampat! (*)