Oleh: Herman Oesman

Dosen Sosiologi FISIP UMMU

________

…Pengurangan risiko bencana tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus melekat dalam struktur kebijakan publik, perencanaan tata ruang, pendidikan, dan manajemen lingkungan.
(Wisner et al.,2004: 89)”

MALUKU Utara merupakan wilayah yang terletak di zona cincin api (ring of fire), yang menjadikannya teramat sangat rentan terhadap berbagai bencana alam: gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, banjir, dan tanah longsor. Kondisi ini tentu menuntut pemerintah daerah untuk tidak hanya bersikap reaktif, tetapi lebih menekankan pada pendekatan preventif melalui mitigasi bencana.

Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko dan dampak bencana melalui kebijakan, perencanaan, dan pembangunan, berorientasi pada pengurangan risiko (BNPB, 2020).

Karena itu, pemerintah daerah yang berbasis mitigasi bencana perlu mengedepankan integrasi strategi pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan daerah, yang sejalan dengan arah pembangunan nasional.

Menurut Wisner et al. (2004: 89), pengurangan risiko bencana tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus melekat dalam struktur kebijakan publik, perencanaan tata ruang, pendidikan, dan manajemen lingkungan.

Hal ini sejalan dengan Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030, yang menekankan peran pemerintah sebagai aktor utama dalam pembangunan yang berorientasi pada pengurangan risiko bencana (UNDRR, 2015: 9-10).

Dengan banyaknya bencana yang melanda beberapa wilayah di Maluku Utara, seperti banjir, longsor, dan beberapa bencana lainnya di Kota Ternate, Halmahera Selatan, dan beberapa wilayah di Maluku Utara, mengisyaratkan, diperlukan pengelolaan pemerintahan daerah berbasis mitigasi bencana.

Kaitan dengan persoalan bencana tersebut, pemerintah daerah perlu memiliki tiga peran kunci dalam mitigasi bencana.

Pertama, pemerintah daerah perlu mengembangkan kebijakan dan regulasi berbasis risiko. Hal ini dapat dicermati dari UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, yang mewajibkan pemerintah daerah menyusun dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) dan Kajian Risiko Bencana (KRB).

Dokumen RPB dan KRB ini di hampir semua kabupaten/kota se Maluku Utara, kurang diperbincangkan secara serius, indikasinya, tak ada keterangan tentang Dokumen RPB dan KRB yang disebar dalam komentar pejabat daerah yang punya otoritas tentang hal itu.

Kedua, perlunya tata ruang berbasis mitigasi untuk menghindari pembangunan di wilayah rawan bencana.

Mengenai hal ini, BNPB (2020: 45) menekankan, pentingnya sinkronisasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan peta risiko bencana.

Mencermati berbagai dampak yang menimpa warga masyarakat dalam setiap bencana di Maluku Utara, dapat disimpulkan, Maluku Utara tidak memiliki tata ruang berbasis mitigasi yang andal dan profesional. Ini perlu menjadi perhatian serius semua pihak.

Ketiga, pemerintah daerah juga harus melibatkan masyarakat dalam proses edukasi kebencanaan. Hal ini sesuai dengan pandangan Alexander (2002: 160), bahwa kesiapsiagaan masyarakat hanya dapat dibangun melalui pendidikan dan partisipasi publik yang berkelanjutan.

Konteks ini menegaskan, pemerintah daerah harus bertindak sebagai edukator publik yang cerdas dalam menyampaikan pesan yang lebih rasional, bukan emosional, yang hanya melahirkan beragam persepsi dan spekulasi.

Meskipun kerangka hukum telah tersedia, implementasi pada tingkat lokal masih ditemukan berbagai kelemahan. Banyak daerah belum memiliki peta risiko bencana yang memadai dan minim anggaran untuk kegiatan mitigasi.

Di sisi lain, pembangunan daerah acap kali mengabaikan aspek risiko bencana. Tatkala muncul bencana, pemerintah daerah tiba saat, tiba akal.

Ketika bencana tiba, pemerintah daerah lebih bertindak sebagai sinterklas, yang setiap bencana ke bencana, tetap bertindak serupa, tanpa mampu keluar dari lingkar problema bencana itu.

Untuk itu, sangat diperlukan penguatan kapasitas pemerintah daerah melalui pelatihan dan integrasi kebijakan lintas sektor (Lassa, 2013: 34). Tak hanya itu, diperlukan pula pemanfaatan teknologi dan data spasial untuk mendukung perencanaan yang akurat dan prediktif (Marfai & Hizbaron, 2011: 278).

Pendekatan berbasis komunitas yang melibatkan kearifan lokal dalam strategi mitigasi (Gaillard & Mercer, 2013: 97) perlu dipertimbangkan, agar dapat meminimalisir korban berjatuhan, dan korban harta benda.

Pemerintah daerah yang berbasis mitigasi bencana bukan sekadar merespon terhadap bencana, melainkan pentingnya suatu sistem tata kelola yang preventif, adaptif, dan kolaboratif.

Dengan integrasi kebijakan yang tepat, pelibatan masyarakat, dan perencanaan pembangunan berbasis risiko, Maluku Utara dapat membangun ketangguhan yang berkelanjutan di tengah ancaman bencana yang terus berkembang. (*)