Oleh: Igrissa Majid

Alumni Hukum Bisnis, STHI Jentera

______

BERKEMBANGNYA bisnis di tengah krisis iklim di Indonesia telah dibarengi dengan kebijakan pembiayaan keuangan berkelanjutan. Kebijakan ini menggandeng semua pelaku industri jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan non-bank, yang digawangi langsung oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tujuannya supaya mencanangkan beberapa rencana strategis berupa peningkatan penyediaan dana ramah lingkungan; peningkatan permintaan bagi produk keuangan ramah lingkungan; dan peningkatan pengawasan dan koordinasi implementasi keuangan berkelanjutan.

Sayangnya, rencana ini telah gagal implementasinya melalui program Green Banking dan Green Economy yang ditandai dengan minimnya komitmen terhadap lingkungan hidup (Tuk Indonesia, Jikalahari, Walhi, Rainforest Action Network, dan Profundo, 2019). Lantas bagaimana peran OJK selama ini yang memiliki mandat untuk mengawasi sektor jasa keuangan?

Basis Data

Rilis Bareksa.com (2021) mengungkapkan pembiayaan sektor perbankan terkait keuangan berkelanjutan di Indonesia totalnya Rp 809,75 triliun, termasuk penerbitan green bond di pasar domestik yang tercatat jumlahnya mencapai Rp 500 miliar.

Sementara Global Sustainability Bond yang dimotori emiten Indonesia berada pada angka kurang lebih Rp 31,6 triliun. Jumlah ini terhitung nyaris 50 persen bank di Indonesia yang mewakili 91 persen dari total aset pasar perbankan Indonesia telah menunjukkan komitmennya dalam penerapan keuangan berkelanjutan.

Berdasarkan data tersebut di atas, Sustainable Banking and Finance Network (2021) mengklaim implementasi regulasi dalam sektor pendanaan keuangan berkelanjutan mengalami peningkatan. Akan tetapi, terkait pendanaan itu, salah satu persoalan serius adalah tidak adanya skala uji kelayakan lingkungan secara memadai sehingga berdampak buruk terhadap ekologi, yang mana pembiayaan setiap perusahaan melalui industri keuangan justru menyebabkan deforestasi yang pada akhirnya merenggut sumber kehidupan masyarakat.

Misalnya, kasus yang mengemuka adalah sindikasi perbankan yang membiayai PT Adaro Energy Tbk. Sebagaimana dilansir Trendasia.org (2021), bahwa produsen batu bara terbesar kedua di Indonesia yang menggunakan energy kotor ini memperoleh pinjaman dari ANZ, Standard Chartered, HSBC, Citigroup, CIMB, Maybank, DBS, OCBC, UOB, MUFG, SMBC, Mizuho, ING Bank, termasuk Bank Mandiri, BRI, dan BNI. Padahal, sebagai salah satu korporasi yang bergerak di bidang energi dan batu bara, Adaro Energy merupakan satu dari 100 entitas perusahaan di dunia yang bertanggung jawab atas 71 persen emisi global (Sisilia Nurmala Dewi, 2021).