Tandaseru — Eksekutif Daerah WALHI Maluku Utara bersama Koalisi Barisan Rakyat (KOBAR) Malut menggelar aksi climate justice merespon Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Summit Bali, Indonesia, Senin (14/11).

Aksi tersebut dilangsungkan di depan rumah dinas Gubernur Abdul Gani Kasuba, Landmark, dan Taman Nukila Kota Ternate dengan membentangkan spanduk bertuliskan “Maluku Utara Tidak untuk Dijual”.

Koordinator Aksi Julfikar Sangaji mengatakan, menuntut keadilan iklim adalah meminta kepada negara untuk mencabut seluruh izin usaha yang dapat merusak. Mengingat Maluku Utara sebagai provinsi kepulauan, di mana kawasan daratan Maluku Utara begitu kecil. Persentasenya 21% daratan sedangkan 79% perairan atau lautan.

Aksi WALHI Maluku Utara merespon KTT G20 di Bali. (Istimewa)

“Karena kecil, seharusnya pemerintah tidak membebani dengan menumpukkan beragam izin usaha, apalagi usaha yang notabene dapat menimbulkan daya rusak layaknya tambang,” ujar

Namun faktanya lebih dari 2 juta hektare lahan di daratan telah sicaplok korporasi, yakni para pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau perusahaan kayu bulat, industri monokultur sawit dan Izin Usaha Pertambangan (IUP) baik itu emas, nikel, biji besi serta pasir besi.

“Walhasil, rakyat Maluku Utara hidup dalam bayang-bayang kehancuran ekologi. Hutan sebagai kesatuan ekosistem kehidupan dan dipercaya sebagai perisai bencana ekologis telah gundul menyisahkan kubangan, pemicu kehilangan hutan adalah tambang, sawit dan industri kayu. Namun korporasi itu tidak akan membabat hutan apabila tidak ada ‘stempel legal’ yang diberikan pemerintah,” sambungnya.