Oleh: Rama Chaerudin
Bachelor of Communication Science
_________
MEDIA sosial di Indonesia dalam satu dekade terakhir telah menjelma menjadi ruang publik utama yang memengaruhi cara masyarakat berkomunikasi, mengakses informasi, dan membentuk opini. Platform digital seperti YouTube, Facebook, Instagram, TikTok, dan X (Twitter) menjadi sumber berita sekaligus arena pertarungan wacana politik, ekonomi, maupun budaya. Kondisi ini menciptakan peluang besar bagi demokratisasi informasi, tetapi sekaligus menimbulkan persoalan serius berupa polarisasi sosial yang kian menguat dan rendahnya literasi kritis masyarakat dalam memilah informasi.
Polarisasi di media sosial mencapai titik puncaknya pada momentum politik elektoral, terutama menjelang dan pasca Pemilu 2024. Algoritma media sosial yang bekerja berdasarkan preferensi pengguna menciptakan echo chamber atau ruang gema digital, di mana individu hanya terpapar informasi yang mengonfirmasi pandangan politik mereka. Fenomena ini menumbuhkan fanatisme identitas, memperlebar jurang antara kelompok berbeda, serta mempersempit ruang dialog yang sehat.
Penelitian terbaru mengenai interaksi politik di Instagram pada Pemilu 2024 memperlihatkan segregasi jelas antar pendukung calon presiden, di mana konten politik lebih sering dikemas dalam bentuk meme, video pendek, atau komentar emosional daripada argumen substantif. Narasi yang lahir pun lebih bersifat emosional dan cenderung memperkuat stereotip dibanding membuka ruang deliberasi rasional. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat adanya 126 dugaan pelanggaran konten internet menjelang Pemilu 2024. Mayoritas (sekitar 98 persen) berupa ujaran kebencian, sedangkan sisanya berkaitan dengan hoaks dan politisasi isu SARA. Data ini memperlihatkan bahwa meskipun polarisasi tampak lebih tenang di ruang publik fisik, di ruang digital masih terjadi eskalasi konflik identitas yang tajam. Polarisasi digital ini kemudian beresonansi ke dunia nyata, mempertegas bahwa ruang daring bukan entitas terpisah, melainkan bagian dari ekosistem demokrasi yang nyata memengaruhi relasi sosial.
Selain polarisasi politik, media sosial juga memperlihatkan dampak negatif terhadap kelompok minoritas. Studi lain menunjukkan bahwa komunitas agama minoritas, misalnya umat Kristen, sering menjadi sasaran konten provokatif berbasis identitas. Akibatnya, muncul fenomena self-censorship, di mana kelompok minoritas enggan mengungkapkan pendapat karena khawatir menghadapi serangan digital atau perundungan. Hal ini menandakan bahwa polarisasi digital bukan hanya masalah politik elektoral, tetapi juga menyangkut hak kebebasan berekspresi dan rasa aman bagi kelompok rentan dalam masyarakat. Masalah semakin kompleks ketika melihat skala penggunaan media sosial di Indonesia. Data per Januari 2025 mencatat pengguna aktif media sosial mencapai 143 juta orang, atau sekitar 50,2% dari total populasi. YouTube menjadi platform dengan penetrasi tertinggi, disusul Facebook dengan 122 juta pengguna, TikTok dengan 108 juta (usia 18+), dan Instagram dengan 103 juta. Secara keseluruhan, pengguna internet Indonesia diperkirakan mencapai 212 juta orang, dengan penetrasi hampir 75% populasi. Skala yang masif ini membuat setiap potensi polarisasi dan hoaks berimplikasi besar terhadap dinamika sosial-politik nasional. Namun, tingkat literasi digital masyarakat belum sebanding dengan masifnya penggunaan internet. Indeks Literasi Digital Nasional 2022 hanya berada di angka 3,54 dari skala 1–5, dengan kategori sedang. Tiga pilar literasi yakni kecakapan digital, etika digital, dan keamanan digital memang menunjukkan peningkatan, tetapi pilar budaya digital justru menurun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa keterampilan teknis masyarakat dalam menggunakan internet memang meningkat, tetapi kesadaran kritis dan etis dalam memanfaatkan ruang digital masih rendah. Padahal, secara formal tingkat literasi masyarakat Indonesia cukup tinggi. Data UNESCO 2020 mencatat tingkat melek huruf 96 persen, dengan buta huruf hanya 1,7 persen. Untuk kelompok usia 15–24 tahun, angka literasi bahkan hampir 100 persen. Namun, Survei Perpustakaan Nasional 2023 menunjukkan tingkat kegemaran membaca masyarakat hanya 66,67 (skala 0–100), dengan rata-rata waktu membaca 1 jam 37 menit per hari. Mayoritas lebih memilih membaca lewat gawai daripada buku cetak. Hal ini mencerminkan dominasi konsumsi konten digital instan yang dangkal, sementara literasi kritis tidak berkembang seiring pesatnya penetrasi digital.
Jika dibandingkan dengan negara lain, kesenjangan strategi sangat jelas terlihat. Uni Eropa telah mengesahkan Digital Services Act (DSA) yang mewajibkan platform digital bertanggung jawab atas penyebaran konten berbahaya. Jerman menerapkan NetzDG yang mengharuskan media sosial menghapus konten ilegal dalam kurun waktu tertentu. Finlandia menempuh jalur pendidikan literasi media sejak sekolah dasar, sehingga generasi mudanya lebih siap menghadapi arus informasi digital.
Indonesia memang telah meluncurkan program literasi digital melalui Kementerian Kominfo dan menggandeng komunitas pemeriksa fakta, tetapi langkah ini belum sistematis dan skalanya masih kecil dibandingkan skala masalah yang dihadapi. Polarisasi media sosial yang semakin intens menandakan bahwa demokrasi digital di Indonesia sedang menghadapi ujian besar. Tanpa literasi kritis, masyarakat akan mudah dimobilisasi oleh narasi manipulatif, sementara ruang publik digital terus didominasi kepentingan politik jangka pendek. Karena itu, Indonesia perlu segera merumuskan strategi nasional yang menggabungkan regulasi tegas terhadap platform digital dengan penguatan pendidikan literasi kritis sejak dini.
Kasus Pemilu 2024, ujaran kebencian daring, hingga kerentanan minoritas menunjukkan bahwa tanpa langkah serius, media sosial akan semakin memperkuat polarisasi sosial. Sebaliknya, dengan regulasi yang kuat dan literasi kritis yang kokoh, media sosial dapat bertransformasi menjadi ruang diskusi publik yang sehat dan demokratis. Untuk menjawab tantangan tersebut, beberapa langkah strategis dapat dipertimbangkan. Pertama, memperkuat regulasi terhadap platform digital dengan mencontoh praktik Uni Eropa, misalnya mewajibkan penghapusan konten berbahaya dalam batas waktu tertentu dan menuntut transparansi algoritma. Kedua, memperluas kurikulum literasi kritis sejak pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, tidak hanya sebatas keterampilan digital teknis, tetapi juga penilaian etis dan politik terhadap informasi. Ketiga, memperkuat kolaborasi antara pemerintah, media, akademisi, dan komunitas pemeriksa fakta independen untuk membangun ekosistem verifikasi informasi yang lebih inklusif. Keempat, mendorong platform digital global yang beroperasi di Indonesia untuk ikut berkontribusi dalam pendidikan literasi digital, baik melalui dana tanggung jawab sosial maupun penyediaan fitur transparansi konten. Langkah-langkah tersebut dapat menjembatani kesenjangan antara masifnya penggunaan media sosial dan lemahnya kapasitas literasi kritis masyarakat. Dengan demikian, Indonesia dapat bergerak menuju demokrasi digital yang lebih sehat, di mana media sosial tidak lagi menjadi sumber polarisasi, melainkan ruang bersama yang mendukung deliberasi publik, partisipasi politik yang matang, serta penghormatan terhadap keberagaman sosial. (*)