Oleh: M. Ghufran H. Kordi K.
Pengamat Sosial
________
MASIH dalam suasana memperingati dan merayakan Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, bangsa dan negara ini dikejutkan kematian Raya. Anak berusia 4 tahun itu mati secara mengenaskan, memilukan, sekaligus memalukan sebagai sebuah negara, yang telah berdiri tegak selama 80 tahun.
Raya yang tinggal di Kampung Pasir Ceuri, Desa Kabandungan, Sukabumi, Jawa Barat, itu meninggal 22 Juli 2025, setelah tubuhnya dipenuhi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) seberat lebih dari 1 kg. Dari hidung Raya, dokter menarik cacing gelang sepanjang 15 cm dalam kondisi hidup. Cacing juga keluar dari mulut, kemaluan, hingga anus Raya.
Tubuh Raya yang mungil itu tidak mampu lagi “memberi makan” ratusan atau ribuan parasit yang hidup dan menggerogoti tubuhnya. Apalagi Raya juga diduga mengindap meningitis dan tuberkulosis (TBC). Kematian Raya adalah tragedi dan ironi sebagai bangsa dan negara yang terus berulang. Masih ada Raya lain yang mati, yang diberitakan dan tidak diberitakan terus terjadi. Kita tinggal menghitung dan mencatatnya sebagai data statistik, kemudian merapatkan dan mendiskusikan. Setelah itu menjadi dokumen kebijakan, yang implementasinya juga dalam bentuk rapat dan diskusi lagi, menunggu peristiwa baru, dan terus berulang.
Hak Anak
Kematian Raya dan kematian anak-anak yang lainnya harusnya dapat dicegah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Selain Raya dan anak-anak mati karena penyakit dan kekurangan gizi, tidak sedikit anak-anak yang mati di tangan orang-orang terdekat mereka, yang seharusnya melindungi mereka. Anak-anak yang mengalami kekerasan dan pembunuhan terjadi di balik tembok rumah, yang pelakunya adalah orang tua, keluarga, dan kerabat.
Sebagai anak dan sebagai manusia, anak-anak berhak untuk hidup, tumbuh, dan berkembang. Namun, kehidupan mereka sering diputus oleh orang-orang dewasa dengan rupa yang beragam: orang tua, pengasuh, kerabat, bahkan oleh pemerintah atau negara yang abai atau tidak peduli.
Anak-anak begitu mudah mati, bukan hanya karena mereka masih kecil, belum kuat, dan bergantung, tetapi karena mereka adalah anak-anak, yang oleh orang dewasa dapat dijadikan korban dan tumbal. Mereka dibiarkan mati atau dibunuh karena mereka adalah anak-anak atau childsida (childcide). Mereka juga mudah disalahkan dan dijadikan kambing hitam oleh siapa pun, dengan beragam label: kurang ajar, tidak bisa diatur, bandel, dan seterusnya.
Padahal sebagai anak, mereka tentu membutuhkan ruang untuk kelangsungan hidup dan perkembangannya (survival and development). Para perumus Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) menempatkan kelangsungan hidup dan perkembangan sebagai salah satu prinsip dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak, dengan harapan negara-negara peratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak semaksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development of the child).
Negara harus mengakui kelangsungan hidup dan perkembangan anak melekat pada diri setiap anak, dan bahwa hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya harus dijamin. Prinsip ini mencerminkan prinsip indivisibility hak anak sebagai hak asasi manusia (HAM). Prinsip yang terdapat di dalam Pasal 6 ayat (1) Konvensi Hak-Hak Anakmenyatakan, negara mengakui bahwa setiap anak memiliki hak yang melekat atas kehidupan (inherent rights to life).
Anak adalah pemegang hak, sedangkan negara atau pemerintah berkewajiban (state obligation) dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak. Di sisi lain, setiap orang dan lembaga di luar negara adalah pihak yang berpartisipasi atau berperan serta.
Negara dan Pelanggaran Hak Anak
Indonesia adalah negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak dan sejumlah instrumen internasional mengenai hak dan perlindungan anak. Demikian juga, pemerintah telah mengesahkan sejumlah instrumen untuk memenuhi hak dan melindungi anak-anak, seperti Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 Tahun 2002, telah mengalami perubahan sebanyak dua kali, yaitu UU No. 35 Tahun 2014 dan UUU No. 17 Tahun 2016).
Ketika negara membuat kebijakan, maka negara/pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan tersebut diimplementasikan. Itu karena negara mempunyai aparat sebagai “kaki tangan” hingga tingkat terendah, seperti RT, RW, dan kader. Seharusnya “kaki tangan” negara dapat menjangkau anak-anak yang sakit seperti Raya, atau anak-anak yang mengalami kerentanan dan kekerasan di lingkungan keluarga.
Negara harus mengubah persepsi aparatnya untuk melihat masalah anak sebagai public affairs, bukan masalah rumah tangga atau masalah keluarga (domestic affairs). Dalam kondisi tertentu, aparat negara harus “memaksa” para orang tua/keluarga untuk membawa anaknya ke lembaga layanan, misalnya ke posyandu. Hak anak adalah hak asasi manusia, sehingga aparat negara, dari pusat, daerah, hingga tingkat terendah, yang berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memenuhinya.
Negara dengan aparat dan lembaga layanannya perlu melakukan deteksi dini atau memberikan layanan intervensi awal ditujukan kepada anak dan keluarga yang telah teridentifikasi rawan atau mengalami risiko perlakuan salah atau penelantaran. Layanan intervensi awal targetnya adalah keluarga yang miskin dan rentan, keluarga yang telah melakukan perilaku yang mengandung risiko kekerasan, harus dicegah, agar tidak terjadi situasi yang secara nyata dapat menyebabkan dampak buruk terhadap anak.
Raya yang menampung lebih dari 1 kg cacing gelang di dalam perutnya, bukanlah muncul tiba-tiba, melainkan melalui proses yang panjang. Keluarga Raya seharusnya terdeteksi sejak dini, sebagai keluarga yang rawan dan berisiko sehingga perlu penanganan. Posyandu dan layanan kesehatan negara yang seharusnya dapat mendeteksi Raya, justru tidak dapat mendeteksi atau mengabaikan Raya dan mungkin anak-anak yang lainnya.
Kematian Raya dan kematian anak-anak yang lain karena tidak terdeteksi sejak dini adalah pelanggaran hak-hak anak, sekaligus kegagalan sistemik di berbagai sektor, artinya kegagalan negara.Padahal negara mempunyai aparat dari atas sampai ke bawah, yang seharusnya dapat mendeteksi warga negara yang rawan dan berisiko.
Kematian Raya yang tragis, dan baru terungkap bertepatan dengan bulan perayaan hari kemerdekaan RI ke-80, di tengah kegembiraan rakyat, dan joget-joget di gedung parlemen dan istana negara. Kita selalu lupa bahwa, karena ingin sejahtera bersama, maka kita bernegara. Raya adalah warga negara yang mati karena negara abai dan gagal menjalankan tugas dan memenuhi kewajibannya. (*)
Tinggalkan Balasan