Tandaseru — Sabtu 10 Agustus 2025 bukan pertandingan. Tidak ada peluit panjang, tidak ada pelanggaran, tidak ada kartu merah. Tapi yang hadir mereka yang terbiasa berdiri 90 menit, meneriakkan nama klub, memaki wasit (kadang), dan menyanyikan lagu-lagu yang kadang-kadang masuk radio. Hanya saja kali ini, mereka datang bukan untuk
menyaksikan laga, tapi untuk berbicara dan berdiskusi.
Bertajuk “Workshop Chants, Tifo/Koreografi & Masa Depan Serta Prediksi Malut United di Musim 2025-2026”, yang menjadi bagian dari rangkaian Event Musik Journey Kong III yang dihelat oleh Kong Collective bersama Timur Bersuara & LokaTune dan berkolaborasi dengan Malutans (Kolektif Sub Culture & Alt Media Football Ternate) dengan mengambil tema Music, Football & Culture serta diadakan di Kedai Kablakang, Kota Ternate.
Collaboration Talkshow ini dipandu oleh Ichsan Jafar, seorang pegiat komunitas kreatif, yang dengan lihai menavigasi diskusi agar tetap hangat, dalam, dan penuh nyali.
“Sepak bola hari ini bukan cuma soal skor, tapi soal siapa yang masih berani bersuara.”
Kultur Suporter: Geliat, Gesekan, dan Gairah yang Tidak Bisa Ditertibkan
Diskusi dibuka dengan satu kesadaran: kultur suporter kita sedang bergeser. Syahrio dari Ultras Kie Raha menyinggung langsung soal ini. Ia menjelaskan bahwa chants yang dinyanyikan di tribun hari ini tidak lagi lahir dari ruang-ruang lokal. Banyak yang diadopsi dari Amerika Latin atau model ultras Eropa, khususnya Italia. “Kultur suporter berubah dari generasi ke generasi. Kita di Maluku Utara masih adaptasi. Tapi kita nggak bisa cuek. Kita harus struggle supaya tetap relevan.”
Syahrio juga menekankan bahwa tiap kelompok suporter punya karakteristik dan ideologi sendiri.
“Nggak bisa disamaratakan.”
Amin dari Malutans, menyoroti persoalan yang lebih mendasar: akses stadion. Ia mengaku masih banyak masyarakat yang enggan datang ke stadion karena harga tiket yang masih terlalu mahal.
“Kita sudah lama nggak punya tim lokal yang main di Liga 1. Sekarang ketika tim kita naik, harga tiket justru tinggi buat kantong kelas pekerja.”
Yang menarik, bagi Amin, datang ke stadion bukan sekadar urusan menonton pertandingan. “Kami datang untuk bernyanyi, untuk bawa semangat. Chants itu bukan tempelan, tapi bagian dari identitas kita sebagai pendukung. Bukan penonton.”
Amin juga tegas menolak chants yang bersifat rasis atau mencaci maki lawan. “Chants harus tetap jadi bentuk apresiasi. Ketika suporter sudah membuat chants untuk pemain berarti kami tahu kualitasnya dan telah memberikan tanggung jawab Lihat saja pemain seperti Yakob atau Frets. Ketika nama mereka dinyanyikan, mereka mainnya mati- matian. Bahkan ada yang bilang, itu bikin mereka nggak mau pindah klub.”
Satu momen paling kuat datang ketika Amin menyebut lagu “Barakat” karya RIGHT CHAMBER. Lagu ini, katanya, jadi anthem yang mengguncang tribun Sayap Utara. Bahkan ada suporter dari luar kota yang ikut dan pulang bawa vibes itu ke kotanya. Mereka bilang, tribun kita beda.”
Chants, Koreo, dan Kekuasaan Suara
Ai dari Super Poram memperkuat narasi tentang bagaimana chant dan koreografi bekerja secara taktis di stadion. Menurutnya, koreografi sering kali menjadi pembuka pemantik semangat, lalu chants menyusul sebagai aliran emosi yang terus menyala sepanjang pertandingan.
“Nggak ada momen pasti kapan nyanyi. Tapi harusnya kita terus membakar semangat itu,” ujarnya.
Dia juga percaya bahwa visual koreografi bisa jadi cara paling ampuh untuk menarik masyarakat kembali ke stadion.
“Ini soal experience. Kalau tribun bisa bikin orang ngerasa hidup, mereka bakal balik lagi.”
Saat Klub Lupa Membangun Rumah untuk Suporternya
Suara paling tajam datang dari Miraz dari Ultras Kie Raha dan seorang pengamat sepak bola yang lekat dengan dinamika sepak bola Maluku Utara. Ia bilang, “Malut FC datang di momen yang pas: ketika Persiter sedang tidur. Tapi yang mereka lupa, membangun suporter itu bukan sekadar buka toko merchandise.”
Menurut Miraz, fokus manajemen klub terlalu condong ke arah bisnis.
“Tiket mahal, sementara yang datang itu pekerja. Bukan anak-anak komisaris. Kalau dibiarkan, stadion hanya akan jadi ruang tontonan, bukan tempat dukungan.”
Awi yang merupakan seorang jurnalis olahraga dari situs media online Tribun Ternate membawa perspektif berbeda sebagai jurnalis yang lama mengamati dinamika tentang sepak bola khususnya di Maluku Utara. Ia menyoroti fenomena yang kerap luput, bahwa chant yang dinyanyikan oleh kelompok-kelompok suporter di Gelora Kie Raha masih terdengar berbeda-beda dari tiap sisi tribun.
“Tantangan ke depan bukan sekadar soal membuat chant yang kreatif atau atraktif, tapi bagaimana seluruh sektor tribun bisa bernyanyi dalam satu irama, satu semangat, satu suara. Karena hanya dengan keseragaman itu, kekuatan suara tribun benar-benar bisa mengguncang dan menekan lawan,” ujarnya.
“Bayangkan kalau seluruh stadion nyanyi lagu yang sama, dengan tempo dan semangat yang sama. Itu bukan lagi sekadar dukungan, itu intimidasi psikologis buat lawan. Dan itu yang belum kita punya secara utuh.”
Setiap Pertanyaan Sudah Dijawab Tapi Pertanyaan Baru Justru Muncul
Seluruh pertanyaan yang dirumuskan dalam dua sesi talkshow dari sejarah chants dan koreografi, proses kreatif, etika chant, hingga harapan terhadap klub semua dijawab dengan lugas. Tidak lewat teori, tapi lewat suara-suara yang benar-benar hidup di tribun.
“Jika suara tribun adalah nafas klub, kenapa klub sering sekali pura-pura tuli?”
Sepanjang diskusi, muncul benang merah yang tidak bisa diabaikan: antara musik dan sepak bola, ada irisan kultural yang membentuk identitas komunitas. Keduanya bukan sekadar hiburan melainkan ruang sosial tempat perlawanan, loyalitas, dan ekspresi bermuara.
Di tribun, musik bukan hanya pengiring pertandingan, apalagi sekadar pengisi jeda. Ia tumbuh sebagai bahasa kolektif bahasa yang tidak membutuhkan partitur, tapi penuh makna. Lagu-lagu yang dinyanyikan suporter bukan hasil studio rekaman, melainkan lahir dari jalanan dan arus bawah, lorong-lorong kota, dan ruang- ruang
nongkrong tempat para pendukung mencurahkan emosi dan keyakinannya.
Musik dalam sepak bola bekerja seperti semangat yang merambat cepat. Ia menyatukan banyak kepala dalam satu suara. Ia membentuk pola, ritme, dan identitas. Maka tak heran jika chants dan anthem yang dinyanyikan suporter kerap menjadi simbol loyalitas yang tak tergantikan. Dari lagu “Barakat” yang menggema di Gelora Kie Raha hingga chants personal untuk pemain-pemain seperti Yakob dan Frets, semuanya membuktikan satu hal: musik adalah napas yang membuat tribun hidup.
Bahkan, dalam konteks ultras atau suporter culture, musik telah menjelma jadi alat perlawanan: melawan ketidakadilan di manajemen, melawan harga tiket yang tak masuk akal, atau melawan budaya sepak bola yang terlalu berorientasi bisnis. Lewat nyanyian, mereka menolak diam.
“Lewat irama, mereka membentuk solidaritas.”
Musik dan sepak bola berbagi denyut yang sama tentang keberanian untuk hadir, tentang suara yang tak bisa dikompromikan, dan tentang komunitas yang terus bertumbuh dari bawah.
Penutup: Kami Tidak Diam. Kami Bernyanyi. Kami Ada
Talkshow ini membuktikan bahwa suporter di Timur khususnya Maluku Utara tidak kekurangan bahan, semangat, atau kreativitas. Mereka hanya kekurangan ruang untuk didengar. Tapi mereka tidak akan menunggu panggung. Mereka akan bikin panggung sendiri. Dan di tribun, suara-suara itu terus hidup. Mereka mungkin tidak punya hak veto. Tapi mereka punya chants, tifo, koreografi, dan cinta yang keras kepala. Karena sepak bola tanpa suara tribun, bukan olahraga. Itu cuma bisnis kosong.
Tinggalkan Balasan