Oleh: M. Jain Amrin
________
80 tahun yang lalu, sebuah suara lantang dari Jakarta membelah langit Nusantara: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.” Kata-kata itu bukan sekadar deklarasi, melainkan janji suci kepada rakyat bahwa tanah air ini akan menjadi rumah bagi keadilan, kemakmuran, dan persaudaraan. Namun, delapan dekade berselang, janji itu terasa seperti ukiran emas yang mulai pudarindah untuk dikenang, tetapi sulit dirasakan.
Di tengah gegap gempita perayaan 80 tahun kemerdekaan, ada suara lain yang berbisik lirih di hati rakyat: Apakah kita benar-benar sudah merdeka?
Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Ahmad Syafrudin, menilai bahwa perjalanan delapan dekade bangsa ini menunjukkan paradoks kemerdekaan.
“Kemerdekaan sejati bukan hanya soal kedaulatan politik, tetapi juga kedaulatan ekonomi, sosial, dan hukum. Sayangnya, kesenjangan ekonomi masih menganga, kemiskinan ekstrem belum terhapus, dan praktik korupsi masih membelit lembaga negara,” ujarnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Juni 2025 menunjukkan bahwa 9,4% penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, kebijakan seperti kenaikan harga energi, lemahnya pengendalian impor pangan, serta proyek infrastruktur yang rawan korupsi dinilai memperparah beban masyarakat kecil.
Para pegiat masyarakat sipil juga menyoroti lemahnya komitmen pemerintah terhadap prinsip good governance. Transparansi anggaran masih sering sebatas formalitas, sedangkan ruang partisipasi publik dalam perumusan kebijakan strategis semakin menyempit. “Kalau kemerdekaan diukur dari terpenuhinya hak-hak warga negara, maka kita belum benar-benar merdeka,” kata Siti Nur Aisyah, aktivis LSM antikorupsi. “Negara seharusnya menjadi pelindung rakyat, bukan sekadar operator kebijakan yang memelihara kepentingan kelompok tertentu.”
Momentum 80 tahun kemerdekaan seharusnya bukan sekadar pesta seremoni dan lomba rakyat, tetapi juga menjadi refleksi kolektif: apakah janji-janji yang diikrarkan pada 1945 telah diwujudkan secara nyata? Ataukah kemerdekaan ini hanya tinggal simbol, sementara substansinya semakin jauh dari genggaman rakyat? Seperti pesan Bung Hatta, “Indonesia merdeka bukanlah tujuan akhir, melainkan jembatan menuju masyarakat adil dan makmur.” Namun, delapan dekade berlalu, jembatan itu tampak retak. Tanpa keberanian memperbaiki fondasinya, cita-cita kemerdekaan berisiko runtuh meninggalkan rakyat di tepi harapan. (*)
Tinggalkan Balasan