Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore, Maluku Utara
_______
“Hak beragama sering disebut sebagai hak asasi manusia yang paling asasi. Ini karena berkait dengan keyakinan terhadap Tuhan. Dan kitab suci Alquran, juga kuota haji bagi pemeluk Islam, adalah bagian penting dari instrumen dasar penopang keyakinan beragama itu. Mengusik dan mengganggunya dalam bentuk korupsi, sama artinya ikut meruntuhkan sendi-sendi keyakinan beragama umat. Di situ letak bedanya”.
ADA tiga judul berita media berkait, yang saya lihat semalam, di Twitter [X]. Dari Democrazy, ada judul, KPK Kantongi SK Pembagian Kuota Haji Tambahan: Nasib Yaqut Cs di Ujung Tanduk. Di Media Indonesia, menurunkan judul, Yaqut Cholil Qoumas Buka Suara usai Dicegah ke Luar Negeri oleh KPK. Sedangkan KompasTV menjelaskan detailnya, Dugaan Korupsi Kuota Haji: KPK Ungkap Kerugian Negara Capai Rp 1 Triliun Lebih.
Tema berita memalukan ini memang sedang hangat di negeri ini. Seolah berlomba dan saling melengkapi dengan tema “sejenis” yang pernah ada di negeri ini, di rentang 10 tahun terakhir. Tema sejenis? Ya. Sekurang-kurangnya, beberapa sampelnya bisa disebut. Korupsi pengadaan kitab suci. Negara ini pernah punya sejarah korupsi paling kelam dan memalukan, korupsi pengadaan kitab suci Alquran. Mengutip Wikipedia, kasus korupsi pengadaan Alquran merujuk pada kasus korupsi yang terjadi di Kementerian Agama pada APBN-P 2011 dan APBN 2012. Anggaran sebesar Rp 22,855 miliar untuk pengadaan Alquran menjadi latar belakang dari perkara ini. Kasus ini melibatkan beberapa nama sebagai tersangka, mulai dari Zulkarnaen Djabbar, Dendy Prasetia, Ahmad Jauhari bahkan hingga Fahd El Fouz alias Fahd A Rafqi. Atas kasus ini, total kerugian yang ditanggung oleh negara adalah sebesar Rp 14 miliar.
Bergeser ke dana umat. Dari Transparency International Indonesia [19 Juni 2025], Lembaga Bantuan Hukum [LBH] Bandung, melaporkan dugaan dana korupsi senilai Rp 9,8 miliar dan penyelewengan dana hibah APBD Provinsi Jawa Barat sebesar Rp 3,5 miliar di Badan Amil Zakat Nasional [BAZNAS] Jawa Barat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK].
Tragisnya, diungkap BBC News Indonesia [30/5/2025]. Tri Yanto, usai melaporkan dugaan korupsi dana zakat, eks pegawai Baznas [Badan Amil Zakat Nasional] Jawa Barat ini dijadikan tersangka oleh polisi. Dia dituduh membocorkan rahasia lembaga yang dibentuk oleh pemerintah itu. Dukungan pun mengalir kepadanya. Kasus ini dianggap sebagai puncak gunung es terkait pengelolaan zakat di Indonesia. Tri Yanto, bekas Kepala Kepatuhan dan Satuan Audit Internal Baznas Jabar, dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik [UU ITE]. Menurut Polda Jabar, Tri menyebarkan sejumlah dokumen elektronik rahasia milik Baznas Jawa Barat. Dia diduga tanpa hak telah mengakses, memindahkan, serta menyebarkan sejumlah dokumen elektronik rahasia milik Baznas Jabar.
Ini lain lagi, kiat merampok hak kaum fakir. Mengutip KOMPAS.com, pada 6 Desember 2020, KPK menetapkan Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020. Penetapan tersangka Juliari saat itu merupakan tindak lanjut atas operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Jumat, 5 Desember 2020. Usai ditetapkan sebagai tersangka, pada malam harinya Juliari menyerahkan diri ke KPK. Menurut KPK, total uang suap yang di terima Yuliari dalam kasus ini sebesar 17 miliar rupiah.
Pengamat Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta [UNJ] Ubeidillah Badrun, pernah berkomentar saat itu, bahwa ini adalah korupsi paling jahat sepanjang sejarah, karena meng-korupsi uang bantuan sosial [bansos] yang seharusnya untuk orang miskin.
Bisa dibayangkan, logika macam apa yang melilit otak para koruptor ini, di masa itu. Ini tak sekedar merampok hak kaum fakir, tetapi merampoknya dalam situasi ketika mereka sedang terisolasi, tak bisa beraktifitas, bekerja mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Tidakkah ini, sama saja membunuh mereka secara perlahan dan sengaja? Lantas, apa bedanya dengan perlakuan bangsa Israel terhadap warga Palestina di Gaza, yang sering sekali kita lihat. Sayang sekali, bangsa ini benar-benar bermemori pendek, mudah melupakan peristiwa besar dan memalukan di masa lalu, bahkan yang baru kemarin sore terjadi.
Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024, menulis di media Fusilatnews.com [12/8/2025], judulnya, Gus Yaqut Tersangka Korupsi? Tiga kali berturut-turut. Ini petikannya, Hattrick! Itulah yang akan terjadi jika Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut jadi tersangka korupsi pembagian kuota haji tambahan tahun 2024 di Kementerian Agama.
Hattrick berarti juara tiga kali berturut-turut. Ini mengingat dua Menteri Agama sebelumnya juga terlibat korupsi. Keduanya adalah Said Agil Husin Al Munawar, Menag periode 2001-2004, yang terlibat korupsi Dana Abadi Umat [DAU]. Lalu, Suryadharma Ali, Menag periode 2009-2014, yang terlibat korupsi Dana Operasional Menteri [DOM].
Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] menyatakan kasus dugaan korupsi pembagian kuota haji tambahan tahun 2024 telah masuk ke tahap penyidikan. Artinya, sudah ada calon tersangka dan tinggal mengumumkan.
Gus Yaqut sendiri sudah diperiksa KPK dalam kasus dugaan korupsi yang merugikan keuangan negara hingga Rp 1 triliun ini. Yang bersangkutan juga sudah dicegah KPK keluar negeri bersama dua orang lainnya. Jika nanti bekas Ketua Umum Gerakan Pemuda [GP] Ansor itu benar-benar jadi tersangka, maka sekali lagi Menag menjadi tersangka korupsi akan hattrick.
Mengutip Democrazy, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, porsi kuota haji khusus maksimal 8 persen, sedangkan kuota haji reguler sebesar 92 persen. Namun, Panitia Khusus (Pansus) Angket Haji DPR RI mengaku menemukan kejanggalan pada pembagian tambahan kuota 20.000 jemaah dari Pemerintah Arab Saudi pada 2024, yang dibagi rata 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus (50:50).
Jika hal ini nantinya terbukti, bisa dibayangkan efeknya bagi masa tunggu calon jamah haji reguler. Padahal sudah pasti bahwa mereka adalah mayoritas segmen ekonomi kebanyakan kita. Bertahun-tahun menabung sambil menanti kesempatan itu. Juga dari latar komposisi usia, cukup rentan untuk “gagal” berangkat karena direnggut waktu. Tapi anehnya, variabel itu jadi tak penting. Seorang kawan menyebut bahwa Yaqut adalah menteri agama yang paling kontroversial dan paling sering bikin reseh di eranya, di rezim Jokowi. Di rezim ini, skandal korupsi besar terjadi di mana-mana. Asuransi kelanjutan pendidikan anak-anak saya ikut kena imbasnya hingga saat ini. Karena lembaga pelaksananya ikut di rampok oleh manusia-manusia tak punya nurani. Sekali lagi, hanya kita, bangsa yang mudah lupa dan pemuja koruptor.
Hak beragama sering disebut sebagai hak asasi manusia yang paling asasi. Ini karena berkait dengan keyakinan terhadap Tuhan. Dan kitab suci Alquran, juga kuota haji bagi pemeluk Islam, adalah bagian penting dari instrumen dasar penopang keyakinan beragama itu. Mengusik dan mengganggunya dalam bentuk korupsi, sama artinya ikut meruntuhkan sendi-sendi keyakinan beragama umat. Di situ letak bedanya. Kalau bisa dibuat kategorisasi, bisa jadi ini jenis korupsi yang dosanya paling besar, merampok sendi-sendi keyakinan beragama dari pemeluk Islam, yang mayoritas di negeri ini. Peringkat di bawahnya, ada korupsi dana umat, baznas. Juga, korupsi hak-hak kaum fakir, bantuan sosial itu.
Pengelolaan dana umat berlabel Baznas itu, sejatinya juga bersentuhan peruntukkannya dengan kepentingan dan hak kaum fakir, termasuk anak yatim. Panduan agama memberi isyarat, kita yang tertidur pulas, disaat tetangga yang menahan derita kelaparan, diancam dengan akibat hukum tertentu. Pesan agama soal ancaman memakan hak anak yatim, kita tahu semua. Tak perlu ditulis dalilnya.
Di buku saya, Cermin Retak Kehidupan [2024], ada sub judul Menambang ZIS. Saya sengaja memilih metafora “menambang”, untuk menegaskan ada mentalitas buruk, seolah ingin berebut potensi ZIS ini, untuk dikelola dengan berbagai macam cara. Seolah ini semacam lahan pertambangan rakyat di sektor pertambangan emas. Semua orang berebut menambangnya. Penggunaan dengan motif-motif politis, juga terlihat sangat kental di momentum kontestasi pemilihan kepala daerah.
Sekali lagi, kitab suci Alquran, juga kuota haji bagi pemeluk Islam, adalah bagian penting dari instrumen dasar penopang keyakinan beragama itu. Mengusik dan mengganggunya dalam bentuk korupsi, sama artinya ikut meruntuhkan sendi-sendi keyakinan beragama umat. Di situ letak bedanya. Fakta berulang ini, di rasa cukup untuk tak lagi berspekulasi. Mungkin kita perlu mencobanya, menteri agamanya dari kaum yang tidak beragama. Dengan begitu, mungkin mereka lebih adil dan jernih mengeksekusi kebijakan untuk agama-agama. Dirgahayu 80 Tahun Kemerdekaan RI. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan