Tandaseru — Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Halmahera Timur, Maluku Utara, menghadirkan 5 saksi dalam sidang pembuktian perkara 11 terdakwa warga adat Maba Sangaji di Pengadilan Negeri Soasio, Kota Tidore Kepulauan, Rabu (13/8).

Satu saksi di antaranya adalah pemimpin adat Sangaji Maba, Ibrahim Hi. Haruna. Sementara saksi lainnya yakni anggota Polres Halmahera Timur, Bahrun, anggota Polda Maluku Utara, Rizky, serta dua karyawan PT Position Heri Riadi dan Anshori.

Sangaji Maba, Ibrahim Hi. Haruna di hadapan majelis hakim saat ditanya JPU perihal apakah hal yang dilakukan para terdakwa pada tanggal 16-18 Mei 2025 (di lokasi PT Position) masuk dalam kategori lazim bagi adat Sangaji Maba?

Ibrahim yang menjadi saksi terakhir dalam agenda sidang di hari itu pun menjawab, bahwa apa yang dilakukan 11 terdakwa saat itu justru adalah hal yang baik. Bahkan, sebelum berangkat ke lokasi PT Position yang beroperasi di wilayah hutan Maba Sangaji para terdakwa sempat memberitahukannya.

“Lazim atau tidaknya satu peristiwa terutama yang terjadi pada Sangaji Maba itu menurut Sangaji Maba itu adalah hal yang baik, harus saya ulangi, itu adalah hal yang baik, karena kenapa? karena di dalamnya mereka saudara-saudara kita ini, saudara-saudara saya ini awalnya mereka menyampaikan informasi kepada saya selaku Sangaji untuk mereka datang di perusahaan Position,” jelas Ibrahim.

Baginya, pemberitahuan untuk ke Position itu dirinya sebagai Sangaji tidak mungkin menolak, dan itu pun tidak bertentangan dengan adat istiadat yang berlaku di wilayah adat Sangaji Maba.

Ibrahim pun dicecar pertanyaan terkait senjata tajam (parang, tombak, panah) yang dibawa 11 warga saat ke lokasi tambang PT Position. Ia pun menanggapi bahwa senjata tajam tersebut wajar dibawa serta, karena 11 warga tersebut menyusuri hutan sehingga butuh alat perlindungan diri.

“Kalau demo itu katakanlah di jalan raya itu tidak memerlukan alat, tapi kalau teman-teman ini atau para terdakwa ini mau demo melalui jalan hutan itu pastinya ada alat, sebagai perlindungan diri,” cetusnya.

Sangaji Maba, Ibrahim Hi. Haruna saat memberikan kesaksian di persidangan terdakwa 11 warga adat Maba Sangaji.(Tandaseru/Ardian Sangaji)

“Parang tombak dan lain sebagainya adalah alat untuk berlindung saat masuk hutan,” timpalnya.

Ditanya soal tuntutan denda adat (Rp 500 miliar) terhadap PT Position, menurutnya hal semacam itu memang masih berlaku di wilayah adat Sangaji Maba.

“Ini berbicara denda ini kami sesuaikan dengan leluhur. Para leluhur kami sejak dulu itu ada dendanya, denda itikad seperti torang (kami) berbuat salah terhadap orang lain bisa didenda,” terangnya.

Sementara itu usai sidang, tim penasehat hukum 11 warga adat Maba Sangaji menyampaikan bahwa keterangan 5 saksi yang dihadirkan JPU justru menjadi keterangan positif bagi para terdakwa.

“Kesaksiannya buat kami positif karena beberapa hal, pertama terbukti bahwa apapun yang dilakukan oleh 11 tahanan itu diawali dan dimulai dengan niat untuk mempertahankan hutan,” kata Irfan Alghifari.

Hal kedua, sambung dia, ada banyak fakta yang lumayan penting terkait dengan PT Position dalam perkara ini. Salah satunya adalah eksploitasi tambang nikel lebih dulu dilakukan dibanding membuat pertemuan dengan masyarakat.

“Jadi eksploitasi di 2024, berbicara dengan masyarakat itu baru di 2025,” ungkapnya.

Kemudian hal yang ketiga, yakni terkait dengan kesaksian dari Sangaji Maba Ibrahim yang justru menguatkan peran warga adat Maba Sangaji di wilayahnya terutama dalam menjaga kelestarian lingkungan.

“Dan masyarakat adat dengan pola begini itu tumbuh dengan ratusan tahun dan hidup berbagi dengan situasi hutan, komunitas pala dan pepohonan lainnya. Jadi ini yang kemudian jadi klaim masyarakat kenapa kemudian hadir ke PT Position kemudian melakukan ritual,” tegasnya.

Ia juga menyentil soal senjata tajam yang dibawa para terdakwa adalah hal yang wajar karena mereka menuju ke lokasi PT Position melewati hutan belantara.

“Dan itu tadi diakui oleh Sangaji Maba bahwa itu boleh-boleh saja dan itu aturan adat, kebudayaan yang memang berlaku di Maba Sangaji,” cetusnya.

Sementara itu rekan Irfan sesama PH, Maharani Caroline menambahkan bahwa ternyata Rp 500 miliar yang dituntut 11 terdakwa terhadap PT Position karena dinilai telah merusak alam atas aktivitas tambangnya adalah denda adat bukan pemerasan.

“Itu denda adat, itu bukan pemerasan sama sekali. Jadi keliru memaknai denda adat itu dianggap pemerasan, karena ketua adat Maba Sangaji tadi sudah menjelaskan bahwa itu bisa saja tergantung perhitungan mereka,” jelas Maharani.

Maharani pun merasa aneh dengan kesaksian dari saksi karyawan PT Position yang saat ditanya dalam persidangan terkait indikasi pembiaran kepada para terdakwa yang berkemah selama 2 malam di lokasi PT Position, baru ditangkap saat hari ke 3, dengan alasan mereka membawa senjata tajam.

Sementara di waktu bersamaan pada lokasi PT Position terdapat seratusan karyawan, kemudian aparat kepolisian bersenjata lengkap. Menurut Maharani, mana mungkin di situasi seperti itu karyawan sampai merasa terancam, hingga membuat operasi pertambangan terhenti hanya karena didatangi 27 warga, dan itupun hanya 11 orang di antaranya membawa senjata tajam.

“Harusnya begitu tahu mereka bawa sajam di hari pertama tanggal 16 harus ditangkap sejak itu, bukan dibiarkan sampai tiga hari. Ini kan aneh,” cetusnya.

Ardian Sangaji
Editor
Ardian Sangaji
Reporter