Oleh: Anwar Husen
Tinggal di Tidore, Maluku Utara
________
EUFORIA hingga semangat merefleksikan benih kejuangan dan keindonesiaan kita di Agustus ini, bagi para pajabat eselon ll di pemerintahan provinsi Maluku Utara, bisa jadi terasa sedikit hambar. Ini bukan karena akibat menu masakan yang kurang garam, tapi berita media yang jadi pemicunya.
Di 30 Juli lalu, headline harian Malut Post jadi pembuka, Gubernur Lelang Jabatan Eselon ll. Terkonfirmasi ada 13 jabatan eselon yang kosong, saat ini diisi pelaksana tugas. Sepekan kemudian, tiga hari terakhir muncul lagi headline mirip di media yang sama. Makin mengerucut dan “panas’, Sherly Evaluasi Total Pimpinan OPD dan Mayoritas Pimpinan OPD Out. Bahkan gubernur memastikan hanya mempertahankan 10 kepala dinas.
Ada judul lain lagi di sebelahnya, yang bisa jadi korelatif dengan dua headline terakhir ini, Penyelesaian Temuan BPK tak Progres, Gubernur Kecewa dan Deprov Nilai RPJMD Malut tak Realistis. Di KASEDATA.ID ada judul, Pejabat Malut Terlibat Suap dan Temuan BPK Terancam Nonjob. Terbaru, judul Malut Post pagi ini, Gubernur Akui Kinerja OPD Buruk. Dan pastikan rolling setelah 20 Agustus. Sekurang-kurangnya, ada isyarat tak sedap bagi kenerja pemerintahan. Dan bagi setiap pimpinan, ini variabel yang cukup mengerutkan dahi.
Relatif banyak konten tulisan pendek saya di rentang setahun lebih ini, memilih tema kinerja pemerintahan provinsi Maluku Utara. Alasannya, kita tahu semua. Soal apalagi kalau bukan sejarah kelam yang pernah ada, serbuan lembaga anti-rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lalu. Kita saja yang sering lupa, bermemori pendek. Alasan berikutnya, sebagai warga daerah ini, kita punya hak untuk melihat daerah ini sehat dan berprestasi, hingga menjadi kebanggaan bersama, bahkan jadi legacy. Alasan subjektif, saya pernah menjadi salah satu pejabat tinggi pratama di pemerintahan provinsi ini, yang kemudian diberhentikan secara serampangan, sebelum datang “pengadilan” KPK. Saya sedikit paham suasana batin hingga kultur di lingkungan kerjanya. Terhitung sembilan kepala daerah di dua level pemerintahan berbeda, yang pernah saya alami, menjadi staf mereka di rentang berkarir sebagai ASN hingga saat ini. Saya pikir, ini cukup jadi indikator membanding dan memberi bobot atas fakta pemerintahan provinsi Maluku Utara hari ini.
Selentingan hingga fakta kepemimpinan Presiden Prabowo sejauh ini di berita media, juga mirip. Ada tarikan kepentingan yang sedikit banyak bisa dinalar simpulnya. Hangatnya isu reshuffle yang berhembus kencang, meski kadang sporadis, adalah indikasinya. Simpulnya saling tuduh sisa rezim lalu, yang bikin reseh.
Di sebuah sesi talk show ILC Karni Ilyas, Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengungkap bahwa dalam sistem yang baik, orang jahat dipaksa dan “terpaksa” harus menjadi baik. Dia mencontohkan budaya antri di Singapura. Sedangkan dalam sistem yang buruk, orang baik terpaksa ataupun dipaksa turut menjadi buruk. Dia mencontohkan ribetnya mengurusi dokumen diri yang sejatinya sangat sepele tetapi dibuat bertele-tele dan memakan waktu yang lama, sebelum ditebus dengan beberapa lembar uang sebagai bentuk sogok dan pelicin.
Barangkali ini adalah panduan paling umum yang bisa dipakai untuk mendekati dan memahami suasana batin dan anatomi pemerintahan provinsi Maluku Utara dari aspek tata kelola. Tak butuh juga teori yang muluk-muluk untuk meneropong apa itu kriteria pemerintahan yang baik. Kita paham semua. Satu hal yang hampir pasti, di pemerintahan, juga di lembaga profit lainnya, mewarisi output kinerja kepemimpinan masa sebelumnya yang buruk itu, memang bikin pusing. Karena atas alasan itu pula, kita butuh pemimpin negara, hingga daerah yang punya visi teruji dan semangat pengabdian yang tinggi. Jika tak cukup visi untuk merencanakan hingga mewujudkan sebuah rencana kebijakan yang besar dan strategis, biarlah itu menjadi pekerjaan rumah bagi siklus pemimpin berikutnya, jangan mewarisi beban, bahkan bencana. Banyak fakta telanjang di hari-hari ini, memberi gambaran itu.
Fakta kepemimpinan Presiden Prabowo dan Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda hari ini, bisa dibilang memiliki kemiripan. Mirip dalam beberapa segi sebagai corak dari warisan kepemimpinan periode sebelumnya, 10 tahun terakhir. Bedanya, di Maluku Utara, model kepemimpinan sebelum ini, relatif akomodatif, terkesan cukup niat baik, obsesi, dan mimpi tentang Maluku Utara yang hebat kelak. Meski tak cukup mampu mendefinisikan mimpi itu secara teknis. Juga punya kompetensi kemanusiaan yang dominan. Kesamaannya? Saya menduga variabelnya adalah pembisik, orang dekat hingga faksi di tubuh pemerintahan. Kesamaan lain, 10 tahun adalah waktu yang dipandang cukup untuk memproduksi “rezim”. Rezim ini, yang relatif belum bergeser hingga saat ini, yang oleh sang gubernur yang relatif tak tersandera kepentingan politik kontestasi ini, mau disisakan 10 saja, di berita tadi. Hal sama yang bisa jadi dirasakan Presiden Prabowo.
Fenomena invisible hand, sebuah metafora ekonomi Adam Smith untuk konteks yang lain ini, lumrah dan bukan hal baru. Bahkan bisa di bilang seusia sejarah berpemerintahan itu sendiri. Di mana-mana, istilah “pembisik” ini sudah cukup familiar di lingkaran kekuasaan dan pemerintahan. Dia bisa menunjuk personal hingga kelompok resmi. Perannya tergantung orderan, juga orientasi. Tetapi idealnya, peran mereka bisa meningkatkan kualitas kebijakan hingga pengawasan. Advisnya bisa positif, tapi juga bisa menjerumuskan jika tak hati-hati ditakar. Banyak fakta sejarah berpemerintahan mengonfirmasi ini, tak terkecuali di Indonesia, terkhusus di Maluku Utara. Kerja mereka relatif terlihat, dan hasilnya bisa dirasakan. Dia sedikit berbeda dengan kelompok kepentingan lain, faksi. Beda orientasi dan cara kerja. Operasinya “gerilya”, sulit diidentifikasi tapi hasilnya bisa terlihat dan di rasakan memengaruhi struktur. Dia ibarat kentut. Orientasinya adalah kepentingan kelompok atau faksinya. Bisa dibilang ini adalah kelompok yang daya rusaknya sistemik jika dominasinya menjadi liar dan tak terkendali. Sejauh yang bisa diamati, ini salah satu tugas berat gubernur Sherly, juga sang presiden negarawan kita. Yang punya pengalaman memimpin unit di pemerintahan, sedikitnya bisa merasakan ini.
Di 10 tahun pemerintahan sebelumnya di provinsi ini, dominasi kelompok ini bisa diidentifikasi dalam 2 simpul besar, berlatar suku asal kepala daerah dan latar almamater pendidikan tertentu. Mereka turut memengaruhi keputusan strategis dalam banyak hal. Mulai distribusi belanja modal berbentuk paket pekerjaan fisik hingga penempatan dan promosi pejabat. Dua variabel ini yang diidentifikasi KPK lalu, sebagai simpul besar. Publik Maluku Utara yang kuat daya ingatnya, terlalu mudah untuk memutar kembali efek dari praktek buruk kelompok kepentingan ini dalam mengendalikan pimpinan, yang jadi simpul temuan KPK itu. Dan “sisa-sisanya”, bisa jadi dirasakan gubernur saat ini. Di pemerintahan Presiden Prabowo, variabel ini melingkar dan rumit.
Di sebuah percakapan di WAG pimpinan perangkat daerah provinsi ini, saya pernah membuat pernyataan, yang oleh sesama rekan tertentu, dipandang “berani”: celah kelemahan atau kekurangan pimpinan itu mestinya di tutupi dan didukung, bukan malah dimanfaatkan. Ini setelah sekian waktu, saya mengamati ada gejala tak sehat dalam berpemerintahan, soal dominasi faksi-faksi ini. Tak bermaksud beropini, tetapi apakah kita cukup yakin bahwa Mantan Gubernur Maluku Utara K.H. Abdul Gani Kasuba, Lc. [almarhum], seorang tua, sang Kiyai berhati mulia, yang sedikitpun tak mengesankan sifat rakus itu, hingga tega “menyingkirkan” para wakilnya, sampai berakhir periode mereka, karena memang murni kehendaknya?, saya tak yakin itu. Sejauh yang saya amati, ini buah dari pertarungan “perebutan kendali”, yang dimenangkan faksi tertentu. Bagi saya, ini salah satu sampel renungan kita. Meski pada akhirnya, muara dari semua efek buruk itu menjadi tanggung jawabnya sebagai pimpinan. Gejala begini, juga sering terjadi di berbagai level pemerintahan.
Masih ingat cerita Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang awal mula Presiden Prabowo Subianto memangkas anggaran belanja yang tidak prioritas mencapai 306,69 triliun lalu? “Sesudah presiden hadir di acara tutup tahun, beliau melihat dokumen anggaran yang sudah dan akan dilaksanakan tahun 2025 dari K/L, beliau melihat secara detail dan selama ini, presiden juga menyampaikan indikasi bahwa APBN perlu untuk dalam pelaksanaannya dilihat dari segi efisiensi dan ketepatan sasaran”.
Di sebuah kesempatan, Presiden Prabowo pernah menegaskan tentang kriteria anggaran. Yang pertama, harus menciptakan lapangan kerja. Kedua, meningkatkan produktifitas yang bisa diukur dengan kuantifikasi berapa devisa yang dihasilkan dan dihemat. Kriteria selanjutnya, harus mengarah swasembada pangan dan swasembada energi. Sedangkan Gubernur Sherly, yang tercover media, mengandalkan jalan tani untuk membuka isolasi dan akses distribusi hasil pertanian.
Lantas, apa pesannya? Kuat dugaan, ada yang tak beres di masa lalu. Banyak “yang tak beres” itu, menghiasi beranda platform Twitter [X], nyaris tak terikat waktu. Di provinsi Maluku Utara, penilaian DPRD tentang kualitas RPJMD, hingga kekecewaan gubernur soal progres penyelesaian temuan BPK di atas, mungkin saja memberi isyarat tentang sisa-sisa masa lalu yang tak beres itu, kultur dan kebiasaan bekerja yang relatif belum bergeser. Disiplin ASN dan distribusi hak-hak mereka, salah satunya. Belum lagi ke soal-soal mindset, orientasi berpikir, mentalitas dan prilaku buruk dalam bekerja. Hal begini, bisa jadi sedang dialami Presiden Prabowo. Ada kemiripan. Dan hal lain pula, sang gubernur perempuan ini sudah pasti menyisir setiap item belanja dan peruntukannya di APBD 2025, yang relatif tak diketahuinya karena mendahului periodenya, sebagaimana dilakukan sang presiden ksatria itu.
Mewariskan jejak kepemimpinan di masa lalu, terkadang bikin miris. Tapi meluruskannya, bisa juga bikin curiga. Dan entah apa yang terlintas, hingga yang dirasakan sang gubernur. Yang pasti, sepekan adalah waktu yang dipandang cepat, untuk mengubah orientasi dari kebijakan sebelumnya yang hanya melelang jabatan kosong, ke kebijakan “mengosongkan” jabatan-jabatan. Yang pasti pula, ini uji nyalinya untuk pertama kali, bertaruh dengan dominasi sisa-sisa rezim. Hal yang mungkin akan sama, dipertaruhkan sang presiden ksatria. Bedanya pada kadar “tersandera”nya dengan motif dan macam-macam kepentingan yang melatari saja. Wallahua’lam. (*)
Tinggalkan Balasan