Tandaseru — 23 kepala keluarga suku Tobelo Dalam yang mendiami pegunungan Mobulan, desa Dorosagu, kecamatan Maba Utara, Halmahera Timur, Maluku Utara, membutuhkan sentuhan tangan pemerintah. Pasalnya, mereka hidup tanpa adanya fasilitas pendidikan, akses air bersih, maupun pelayanan kesehatan.

Hal ini diungkapkan tim Persekutuan Doa Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado. Tim ini terdiri atas Pdt. Ricky Tafuama, S.Th.,MA, Prof. Dr. Ir. S. Berhimpun, MS, Dr. Jane Tahulending, M.Kes, Wempi Pangalila, SP., MP, Janity Turang, SE. dan Yohanis Rumengan, S.Th. Keenamnya menjalankan misi pengkabaran Injil ke suku Tobelo Dalam selama 3 hari 2 malam.

Pdt. Ricky Tafuama selaku ketua tim mengungkapkan, warga suku Tobelo Dalam sebagai orang asli Halmahera harus mendapatkan pelayanan publik. Ia membandingkan, warga transmigran dari luar provinsi saja ketika didatangkan ke Halmahera oleh pemerintah disediakan rumah, lahan berkebun, biaya hidup, makan dan lain-lain selama 2 tahun berturut-turut sesuai perintah undang-undang.

“Sementara anak negeri yang lebih berhak atas tanah ini tidak dikasih apa-apa. Kenapa bukan mereka yang dipanggil turun dikasih tanah, rumah, dan biaya hidup selama dua tahun? Mereka hidup di pegunungan yang sangat menyedihkan dan tidak layak, rumah hanya berukuran 2×2 meter mereka harus tinggal bahkan sampai 11 orang. Di sini kita tidak berbicara rasis, tetapi berbicara ekonomi, hak-hak politik, dan hak-hak administrasi,” ungkapnya, Kamis (24/7/2025).

Ia menyebutkan, standar kesehatan bahkan yang paling bawah pun tidak memenuhi. Pendidikan apalagi, warga Tobelo Dalam ini buta huruf.

“Kemudian hak-hak politik mereka tidak ada, hak-hak administrasi kependudukan mereka tidak ada, terus yang menjadi pertayaan, bagi provinsi Maluku Utara mereka itu siapa?Semua hak mereka tidak punya, tidak diberikan oleh negara,” ujar Ricky.

“Mereka tidak susah dicari. Alasan dulu mereka susah dibantu karena mereka hidup berpindah-pindah (nomaden). Sekarang mereka sudah di kampung, mau alasan apa lagi? Tinggal diberdayakan,” sambungnya.

Ia menegaskan, pelayanan publik merupakan hak warga Tobelo Dalam juga.

“Ini hak anak negeri, mereka penduduk asli, kita yang orang Manado menangis melihat kehidupan mereka. Sementara samping kiri, kanan, depan dan belakang itu alat-alat yang harga miliaran beroperasi,” bebernya.

Ricky menyesalkan, secara administrasi kependudukan suku Tobelo Dalam dianggap tidak ada. Menurutnya, ini tidak adil.

“Anak-anak negeri di Maluku Utara mereka juga berhak untuk kehidupan yang layak. Amanat UUD, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Masak di Maluku Utara masih ada kehidupan seperti itu? Anak negeri yang miskin, kelaparan, dan kesehatannya sangat buruk diabaikan oleh pemerintah,” jabarnya.

“Di sini kita menggugah pemerintah provinsi, tolong perhatikan kehidupan 23 KK ini. Dan tempat mereka mencari nafkah semakin sempit, karena dibatasi oleh tambang-tambang. Selama 3 hari 2 malam kita merasakan kurang lebih 400 jiwa yang berada di pegunungan kehidupan mereka semakin sulit,” tutur Ricky.

Ia berharap pemerintah provinsi membuka diri bekerja sama dengan kalangan akademis. Unsrat Manado, kata Ricky, akan melakukan studi-studi dan menghasilkan satu proposal yang baik untuk memanusiakan suku Tobelo Dalam.

“Kita percaya Gubernur Sherly orang yang cerdas dan bijaksana, punya niat yang tulus untuk membangun Maluku Utara. Jangan membangun Maluku Utara dari kuantitatif lagi, angka-angka jumlah, tapi mari kita bangun pembangunan di Maluku Utara itu pembangunan yang kualitatif. Mereka sedikit tetapi mereka anak negeri,” pintanya.

“Kami ingin mengajak pemerintah provinsi untuk lebih serius memperhatikan kehidupan mereka. Pemprov harus sadar bahwa 30 hingga 40 tahun lalu di tanah yang mereka diami sekarang salah satu orang terkaya di Indonesia saat ini, namanya Prayogo Pangestu pemilik Barito Timber Pasifik, pernah cari makan di tanah itu dan kemudian menjadi konglomerat,” pungkas Ricky.

Ika Fuji Rahayu
Editor
Mardi Hamid
Reporter